SAMSKARA
DEFINISI
SAMSKARA
Kata
“Samskara” berasal dari bahasa sansekerta yang memiliki banyak arti,
diantaranya yang erat kaitannyadengan pelaksanaan yadnya. Maka kata samskara
berarti membudayakan, membiasakan, menyucikan, menjadikan sempurna, dan dapat
pula berarti upacara keagamaan.
Apabila
dihubungkan dengan kenyataan yang membudaya dalam masyarakat Hindu dalam
hubungannya dengan pengamalan ajaran agama, maka kita hampir selalu akan
melihat adanya pelaksanaan beraneka ragam upacara. Upacara-upacara tersebut
sesungguhnya merupakan korban suci yang bertujuan untuk membersihkan lahir
batin dan memelihara hidup umat manusia secara rohaniah, mulai dari
terbentuknya jasmani di dalam kandungan sampai dengan berakhirnya kehidupan
itu.
Jadi,
samskara itu merupakan upacara keagamaan yang bertujuan untuk menyucikan badan
dan menjadikannya sempurna, agar layak memuja Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam
keadaan diri yang bersih atau suci itulah diharapkan Sang Hyang Widhi Wasa
berkenan memberikan anugerah bahkan meragasukma pada diri manusia. Hal ini
digambarkan dalam sebuah kitab Arjuna Wiwaha yang berbunyi :
“Sasi
wimbha haneng gatha mesi banyu, ndan asing suci nirmala mesi wulan, iwa
mangkana rakwa kiteng kadadin, ring angmbeki yoga kiteng sakala”.
Artinya
:
Bagaikan
bayangan bulan pada tempayan yang berisi air, hanya pada air yang bersih dan
tenang itulah bayangan bulan itu tampak. Demikianlah pula Dia akan menampakkan
diri (meragasukma) pada orang yang berjiwa bersih dan suci. Tujuan
pelaksanaan samskara itu sangat mulia, yaitu mencapai tujuan hidup yang disebut
Catur Purusa Artha yang terdiri dari Dharma, Artha, Kama, dan Moksa atau dengan
istilah lain “moksartham jagadhita ya ca iti dharma” yaitu tercapainya
kesejahteraan hidup serta kebahagiaan yang hakiki dan sejati.
Pelaksanaan
samskara bukan merupakan kebiasaan yang melembaga dalam masyarakat, melainkan
pelaksanaan samskara itu adalah perintah agama yang dinyatakan di dalam kitab
Weda Smerti II.26 yang berbunyi :
“Waidikah
karmabhih punyair, nisekadir durijanmanam, karyah sarira samskarah, pawanah
pretyaceha ca”.
Artinya
:
Sesuai
dengan ketentuan-ketentuan pustaka suci Weda, para dwijati hendaknya
melaksanakan upacara-upacara suci pada saat terjadinya pembuahan dalam rahim
ibu dan upacara-upacara kemanusiaan lainnya, sehingga dapat menyucikan diri
dari segala dosa dalam hidup ini maupun setelah meninggal.
PEMBAGIAN
SAMSKARA
Pada
kitab Grhya Sutra disebutkan bahwa samskara berfluktuasi antara 12 sampai 18
jumlahnya, lalu lama kelamaan menjadi 16 bagian. Dari sekian banyak pelaksanaan
samskara tersebut, yang paling umum dilakukan oleh masyarakat Hindu antara lain
sebagai berikut :
1.
Wiwaha Samskara
2.
Garbhadhana Samskara
3.
Pumsawana Samskara
4.
Jatakarma Samskara
5.
Namadheya Samskara
6.
Nishkramana Samskara
7.
Annaprasana Samskara
8.
Caudakrama Samskara
9.
Upanayana Samskara
10.
Sawitri Samskara
Adapun
penjelasan singkat dari masing-masing samskara tersebut dapat diuraikan seperti
berikut ini :
1.
Wiwaha Samskara merupakan upacara perkawinan untuk memasuki tingkat hidup
grihastha asrama, dengan tujuan untuk melanjutkan garis keturunan dan memenuhi
kewajiban secara sempurna. Pelaksanaan Wiwaha Samskara harus bersaksi kepada
Sang Hyang Widhi Wasa melalui agni homa atau semacam widhi wedana sehingga
kedua mempelai dianggap bersih jasmani dan rohaninya, selanjutnya dapat hidup
sah sebagai suami istri baik secara duniawi maupun spiritual.
2.
Garbhadhana Samskara merupakan upacara persembahyangan pembenihan pertama
sebagai sakramen atau pembersihan terhadap kama-jaya dan kama-ratih yaitu benih
laki-laki yang disebut sukla (sperma) dan benih mempelai wanita yang disebut
swanita (ovum) secara rohaniah, dengan harapan apabila terjadi pembuahan dan
menjadi janin maka roh yang akan menjelma adalah roh yang baik dan suci.
3.
Pumsawana Samskara merupakan upacara untuk memohon putra, yang biasanya
dilakukan setelah umur kandungan mencapai tiga bulan. Upacara ini dilakukan
mengingat kelahiran seorang putra mempunyai arti tersendiri dalam keluarga
Hindu yaitu untuk membebaskan orang tuanya dari lembah kesengsaraan. Pada
keluarga Hindu di Bali terdapat pula upacara semacam ini yang disebut dengan
upacara “Magedong-gedongan” tetapi bedanya, upacara magedong-gedongan ini
dilakukan setelah umur kandungan mencapai enam bulan atau lebih. Upacara ini
bertujuan sebagai pembersihan dan pemeliharaan atas keselamatan ibu dan
kandungannya, disertai harapan agar anak yang akan lahir kelak menjadi orang
yang berguna bagi masyarakat dan dapat memberi harapan orangtuanya.
4.
Jatakarma Samskara merupakan upacara kelahiran bayi dengan maksud menyampaikan
rasa syukur (angayu bagia) kepada Sang Hyang Widhi Wasa, dan memohon
anugerah-Nya agar bayi itu selalu berada dalam keadaan selamat. Beberapa hari
setelah bayi lahir, juga diadakan acara lepas aon atau puput puser yang
bermakna membersihkan jasmani si bayi.
5.
Namadheya Samskara merupakan upacara pemberian nama bayi yang dilakukan pada
hari ke sepuluh atau hari ke dua belas setelah bayi lahir. Pemberian nama
menurut kepercayaan Hindu harus benar-benar mempunyai makna, misalnya diberi
nama yang yang mengandung arti kesucian, kekuatan, kemakmuran, kepuasan, dan
lain-lain dengan harapan agar kelak anak itu memiliki sifat dan karma sesuai
dengan makna namanya.
6.Nishkramana
Samskara merupakan upacara yang dilakukan setelah anak itu mencapai umur 105
hari (3 bulan bali/kalender Hindu) sebagai simbol penjemputan atma/jiwa bayi
agar benar-benar memberi hidup yang membahagiakan. Saat itu merupakan hari
pertama bayi untuk berhubungan dengan kekuatan-kekuatan alam atau kontak dengan
dunia luar.
7.
Annaprasana Samskara merupakan upacara pemberian makanan yang pertama kali
yaitu pada waktu umur anak mencapai 7 bulan (6 bulan Bali) di mana anak yang
diupacarai ditanakan nasi lembek berisi telur ayam, kemudian di pagi-pagi buta
anak itu diturunkan ke tanah (menginjak tanah).
8.
Caudakarma Samskara merupakan upacara potong rambut yang pertama, biasanya
dilakukan pada waktu anak berumur antara satu sampai tiga tahun. Rambut di
bagian ubun-ubun tiak dipotong (disisakan sebagai jambot). Namun dewasa ini
kebiasaan seperti ini sudah pudar dan anak-anak dicukur biasa saja, ubun-ubun
masih tetap terlindung. Di dalam kitab Manu Smerti dikatakan bahwa upacara ini
dimaksudkan untuk memperoleh kebajikan spiritual bagi anak itu.
9.
Upanayana Samskara merupakan suatu upacara untuk mulai bersekolah dalam batas
umur panjang awal 5 tahun dan paling lambat 12 tahun. Masa belajar ini disebut
dengan Brahmacari asrama. Upacara yang sejenis dengan upanayana samskara yang
biasa dilakukan oleh orang-orang Bali dan Jawa yang beragama Hindu adalah
upacara “Pawintenan” yang berfungsi sebagai pembersihan diri dalam rangka
mempelajari ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan keagamaan. Sedangkan upacara
pawintenan yang lebih besar (untuk menjadi pendeta) disebut “Diksa Widhi”.
10.
Sawitri Samskara merupakan upacara pemberian ilmu oleh seorang guru kepada
murid-muridnya sebagai awal dimulainya pemberian pelajaran. Upacara ini
merupakan bagian dari Brahmacari asrama.
Itulah
kesepuluh bagian samskara yang biasanya paling sering dilaksanakan oleh umat
Hindu. Pelaksanaan samskara tersebut akan disesuaikan dengan kondisi keluarga
dan daerah tempat tinggal. Selain ksepeluh macam samskara di atas juga terdapat
beberapa jenis samskara lainnya seperti :
1.
Simantonnayana secara harfiah berarti berpisah dengan rambut). Upacara ini
dilakukan pada bulan keempat atau kelima kehamilan pertama seorang
wanita. Simantonnayana dilakukan untuk melindungi ibu pada masa kritis
kehamilan. Samskara ini dilakukan untuk memohon perlindungan bagi ibu dan bayi
yang belum lahir serta mengusir setan dan roh yang mungkin ingin membahayakan
ibu dan bayinya, serta untuk memastikan kesehatan keduanya dalam keadaan baik,
keberhasilan dan kemakmuran bagi anak yang belum lahir.
2.
Karnavedha yang secara harfiah berarti menusuk telinga. Pada
masyarakat tradisional biasanya hal ini dilakukan dengan menggunakan duri
tertentu. Setelah itu mentega dioleskan pada luka. Hal ini berlaku untuk baik
utnuk anak laki-laki maupun perempuan.
3.
Vidyarambhana atau pendidikan awal. Vidya adalah pengetahuan dan arambhana ini
dimulai. Hal ini biasanya dilakukan sekitar usia empat atau lima tahun.
4.
Praishartha atau Vedarambha adalah proses pembelajaran Weda dan Upanishad. Pada
awal setiap periode akademik ada upacara yang disebut Upakarma dan pada akhir
setiap periode akademik ada lagi upacara yang disebut Upasarjanam. Tetapi
samskara ini biasanya jarang ditemui pada masyarakat Hindu pada umumnya, dan
lebih sering diterapkan pada keluarga brahmana.
5.
Keshanta secara harfiah berarti menyingkirkan rambut adalah upacara mencukur
rambut yang pertama. Upacara ini bagi anak di usianya yang ke 16 tahun.
6.
Ritusuddhi adalah upacara yang berhubungan dengan proses menstruasi pertama
pada seorang gadis.
7.
Samavartana berarti wisuda adalah upacara yang berhubungan dengan akhir
pendidikan formal. Upacara ini menandai akhir dari masa menuntut ilmu.
Hal ini juga menandai akhir dari masa brahmacari.
8.
Antyesthi yang berarti pemakaman. Samskara akhir adalah antyesthi atau
upacara terakhir. Samskara ini tidak disebutkan dalam daftar samskaras di
sebagian besar Grhya Sutra dan teks-teks lain yang berbicara tentang samskara.
Alasan untuk meninggalkan ritual ini keluar adalah bahwa hal ini tidak dianggap
sebagai suatu ritual yang murni dan menguntungkan, dan tidak boleh
disebutkan bersama dengan samskara yang lain.
Upanayana
Samskara Gerbang Pertama Belajar Veda
1. Pengertian
Menurut kamus Agama Hindu, Upanayana : Upacara penyucian
murid yang baru belajar Weda yang dilakukan oleh seorang Guru. Dalam Kitab
Sathapatha Brahmana dijelaskan : Bahwa seorang Acharya meletakkan telapak
tangannya di ubun-ubun anak itu sebagai simbol persatuan dan pencurahan seluruh
personalitenya kepada murid-muridnya dan setelah itu barulah diajarkan mantra
sawitri untuk menjadikannya sebagai seorang brahmana.(konsep-konsep śraddhā
agama Hindu).
Upanayana artinya mendekatkan, saat itu si anak didekatkan
dengan gurunya yaitu Guru spiritual. Sang Guru mengenakannya benang suci yang
disebut Yajnopawita dan mentasbihkannya dengan pemberian mantra Gayatri dan
sebuah tongkat. Ini merupakan permulaan dari Brahmacarya yaitu kehidupan
membujang dan mulai kehidupan belajar. (Intisari ajaran Hindu, Paramita
Surabaya, 2003).
Upanayana yaitu upacara ini siap dimana seorang anak untuk
pertamakalinya diterima untuk masuk berguru pada seorang Guru spiritual. Umur
anak itu dihitung sejak dalam bentuk pembuah pertama, artinya sembilan bulan
sebelum lahir.(Manawadharmasastra II.36). Swadyaya yaitu belajar sendiri
tentang Weda, mempelajari Weda. Wrata : brata, yaitu dengan mengendalikan hawa
nafsu, berjanji untuk sesuatu yang melanggar ketentuan misalnya Sawitri wrata
(brata sawitri), tidak makan daging, tidak tidur dan lain-lain. Melakukan
Upacara Sawitri, upacara pengucapan mantra sawitri sebagai simbol masuk sekolah
pertama. Mantra sawitri adalah mantra Gayatri. Berdasarkan ayat ini ditetapkan
batas maksimum seseorang untuk memulai mengucapkan mantra sawitri (belajar)
Yang kalau tidak dilakukan dalam batas umur itu mereka itu di ancam kapatita
(dijatuhkan dari golongannya) dan menjadi wratya (orang barbar) yaitu golongan
diluar warna yang empat dan dikucilkan dari kearyaannya.(Manawadharmasastra
II.28). Seorang yang ingin ahli dalam Weda, menurut beberapa kritikus kurang
tepat untuk dikaitkan bagi anak yang bersangkutan tetapi harapan orang tua si
anak menginginkan anaknya ahli dalam bidangnya, ayahnya harus telah
menyekolahkannya (mengupanayanakannya) pada umur yang lebih muda, seperti untuk
golongan brahmana dimulai pada umur 4(empat) tahun 5 (lima) bulan.
(Manawadharmasastra II.38).
Seorang Brahmana yang di-inisiasi yaitu seorang Brahmacari,
menurut ayat ini kehidupannya masih tergantung pada orang lain dan untuk
menunjang kehidupan berguru dan tinggal di asrama itu, para Brahmacari
diwajibkan untuk minta-minta sedekahan dari keluarganya. Waktu minta sedekah
itu, tiap golongan memiliki cara sebutan untuk dipakai kepada tuan rumah yang
diminta, yaitu Nyonya rumah dengan sebutan Bhawati dan sebagai kode tiap warna
(golongan) mempunyai ketentuan untuk memakai istilah itu dengan meletakkan kata
Bhawati paling depan dari nama, diantara nama dengan harapan permohonan.(Manawa
dharmasastra II. 49-50).
Berdasarkan ayat ini pada permulaan dan pada penutupan
pelajaran,seorang murid harus memberi penghormatan kepada seorang Guru dengan
cara menyentuh kedua kaki guru itu sebagai tanda penyerahan diri sepenuhnnya
dan kebaktian yang tulus. Menurut sistem weda, karena ajaran yang diterima pada
waktu itu bersifat oral dan cara menulis belum dikenal maka setiap ajaran yang
diterima harus didengar dengan baik dan untuk mendengar ajaran suci (Weda)
diharapkan agar mencakupkan kedua belah tangan.
Karena itu orang-orang yang bijaksana harus berjuang dan
berusaha keras menguasai seluruh indrianya yang gejolaknya diumpamakan seperti
kuda yang menerjang menyusuri benda-benda lahiriah yang dapat menyesatkan.
Pengendalian ini dilukiskan seperti perumpamaan seorang kusir yang
mengendalikan kuda penghela kereta (badannya).(Manawadharmasastra II.88). Ada
sebelas macam alat-alat yang harus dikendalikan, yaitu pikiran, alat perasa
misalnya telinga, mata, hidung, kulit, lidah. Sedangkan alat penggeraknya
adalah pelepasan, kelamin, tangan, kaki dan mulut. Adapun indria yang sangat
terlambat oleh benda-benda jasmani yaitu bila panca indria ini sangat gemar
akan dipuaskan oleh benda-benda jasmani yang dapat memberi kesenangan lahiriah.
Pengendalian indria itu tidak hanya tergantung dan dapat berhasil melalui
belajar Weda atau beryajna, melakukan niyama ataupun tapa. Niyamabrata yaitu
sepuluh macam tuntutan sikap mental yang harus dipenuhi yaitu dana (sedekahan),
ijya (bersembahyang), tapa(menggembleng diri dengan bersamadhi), dhyana
(merenung dengan penuh pemusatan pikiran atau sesuatu tujuan yang baik),
swadyaya (mempelajari dan menghayati ajaran-ajara weda dan mengenalkannya),
upasthanigraha (mengendalikan nafsu sex), Brata (mengendalikan panca indria dan
taat pada sumpah), upavasa (berpuasa), mona atau mauna (mengendalikan kata-kata
dengan tidak berkata-kata yang tidak perlu) dan snana (membersihkan badan,
misalnya mandi). Samdhyam yaitu bersembahyang, menyatukan diri atau
menghubungkan diri, Japa : mengucapkan mantra-mantra. Dalam bercakap dan menjawab
pertanyaan seorang guru, seorang siswa tidak boleh berbuat demikian yaitu
dengan sambil lalu, misalnya dengan sambil lalu, misalnya sambil berbaring,
duduk ditempat tidur, dan pergi membuang muka. Untuk mencapai kebajikan dan
kebahagiaan seseorang tidak boleh menetap dalam satu tempat, melainkan harus
mencari pengalaman-pengalaman dari guru-guru yang lebih dari satu perguruan ke
perguruan lainnya.
2. Tempat, Waktu Penyelenggaraan
a. Waktu Penyelenggaraan
Waktu penyelenggaraan upanayana yang umum dipakai adalah
menjelang upacara “penyineban” atau hari penutupan piodalan yang disebut dengan
“nyurud hayu”. Nyurud maksudnya adalah memohon, dan Hayu artinya keselamatan,
yang dilaksanakan sesaat sebelum Upacara piodalan itu akan diakhiri atau
ditutup.
b. Dewasa
Dewasa adalah suatu hari yang baik untuk melaksanakan suatu
upacara agama. Dewasa untuk upacara upanayana yang umum dipakai adalah
menjelang upacara penyineban, itu berarti mengikuti dewasa piodalan dari tempat
suci atau pura tempatnya akan melaksanakan upanayana.
Selain Dewasa itu, juga banyak yang melakukan pada hari
purnama. Dengan tujuan supaya pembersihan dan penyucian terhadap dirinya
benar-benar bersih dna terang seperti sinarnya bulan saat bulan purnama. Selain
itu juga ada yang menyelenggarakan upacara upanayana pada hari raya saraswati,
sebagai hari yang baik untuk turnnya ilmu pengetahuan suci.
c. Tempat Upacara
Secara umum tempat penyelenggaraan upacara upanayana itu
adalah pada tempat suci yaitu Pura. Upanayana dapat diselenggarakan diberbagai
Pura, sesuai dengan keyakinan dari yang akan di upanayana, misalnya pada pura
ditempat mana ia mengabdikan dirinya, seperti pura yang ada di sekolah-sekolah,
kantor-kantor, kahyangan tiga, dang kahyangan, sad kahyangan dan kahyangan
jagad.
d. Pemimpin Upacara
Pemimpin upacar a upanayana dilaksanakan oleh pendeta atau
sulinggih yang sudah ma-dwijati.
e. Calon yang di Upanayana
Upanayana biasanya dilaksanakan oleh calon-calon siswa
pendidikan guru agama Hindu dan calon mahasiswa calon perguruan tinggi seperti
Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Gde Pudja Mataram (STAHN), akademi pendidikan
guru agama Hindu, sekolah tinggi keguruan ilmu pendidikan agama Hindu secara
massal, setelah mereka melaksanakan masa prabhakti siswa atau mahasiswa melalui
latihan-latihan mental, lalu dilanjutkan dengan upacara sisya upanayana, untuk
kemudian dapat mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu keagamaan yang didalamnya
diajarkan melalui pengenalan dan pendalaman tentang akasara-aksara suci.
f. Jalannya Upacara
Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai melalui upacara
upanayana ini, yaitu pembersihan dan penyucian diri secara lahir dan batin,
maka secara umum jalannya upacara upanayana dilaksanakan sebagai berikut :
Upacara ini diawali dengan melaksanakan pembersihan lahir
seperti menyapu, menyingkirkan alat-alat yang tidak perlu, misalnya ada sisa
upakara-upakara yang masih tertinggal dan membenarkan letak-letak sarana yang
ada pada tempat-tempat suci dilingkungan pura, tempat pelaksanaan upacara
upanayana. Setelah itu dilanjutkan dengan memasang busana perlengkapan untuk
palinggih yang akan dipakai tempat mensethanakan Hyang Widhi Wasa atau
manifestasinya yang akan dihadirkan untuk dipuja. Kemudian dilanjutkan dengan
upacara penyucian terhadap palinggih tadi dengan menghaturkan upakara-upakara
berbentuk banten.
Setelah selesai upacara pembersihan dan penyucian ini,
dilanjutkan dengan mensthanakan Hyang Widhi Wasa atau manifestasinya yang
dihadirkan, misalnya kalau upacara upanayana itu dilaksanakan di pura puseh,
maka manifestasi Hyang Widhi Wasa yang berfungsi sebagai Dewa Brahma
disthanakan dulu di palinggih meru tumpang tuju atau pada palinggih yang
diperuntukkan beliau. Kalau dipura desa atau segara, manifestasi Hyang Widhi
Wasa yang berfungsi sebagai Dewa wisnu disthanakan pada palinggih gedong dan
atau kalau dilaksanakan di pura dalem, maka manifestasi Hyang Widhi Wasa yang
berfungsi sebagai Dewa siwa disthanakan dipalinggih gedong. Apabila upanayana
dilaksanakan dipamerajan maka Hyang Widhi Wasa atau manifestasinya yang
berfungsi sebagai Batara Hyang Guru disthanakan dulu di palinggih kamulan.
Selesai mensthanakan, barulah dilanjutkan dengan
mempersembahkan upakara-upakaranya, mulai dari sanggah tutuan atau sanggah
surya kehadapan Hyang Widhi Wasa dalam manifesatasinya sebagai Siwa Raditya(dewanya
matahari), dengan tujuan mohon agar beliau menjadikan saksi dalam
penyelenggaraan upacara upanayana, sehingga upacara berjalan dengan tertib,
lancar dan benar, sesuai dengan mantram pemujaannya sebagai berikut :
“Om adityasya paramjoti
Rakta teja namo’stute
Swetapangkaja madyasthe
Bhaskaraya namo namah
Om hrang hring sah parama siwadityaya namo namah swaha”
“Ya Tuhan selaku Hyang surya yang bersinar merah semarak
yang ku puja serta putih bersih laksana tunjung ditengah-tengahnya, Surya yang
maha Suci, Ya Tuhan selaku siwa Raditya, selaku awal, tengah dan akhir sembahku
adalah untukMu.
Berikutnya dilanjutkan dengan upacara upanayana, yang
diawali dengan melukat yaitu pembersighan diri dari yang akan di upanayana
dengan saran air kelapa muda (klungah). Kalau tingkat upacaranya
kecil,mempergunakan salah satu dari lima jenis kelapa yaitu (kelapa bulan,
sudamala, gading, surya dan mulung). Kalau tingkatan upacaranya madaya atau
menengah mempergunakan air kelapa muda sebanyak 3(tiga) jenis, dan kalau
tingkatan upanayana yang dilaksanakan utama maka mempergunakan lima jenis air
kelapa muda tersebut. Air kelapa muda itu dijadikan tirta oleh pendeta melalui
doa, puja dan mantranya, kemudian dipercikan dan di siramkan keanggota badan
dari yang akan di upacarai upanayana.
Selesai malukat dilanjutkan dengan upacara mebyakala.
Upacara ini bertujuan untuk memberikan pengorbanan suci kepada para butha kala,
agar tidak mengganggu jalannya upacara upanayana yang akan dilaksanakan serta
segera meninggalkan tempat upacara tersebut, untuk kembali ketempatnya yang
semula. Upacara ini dipimpin oleh pendeta atau yang memimpin upacaranya dengan
doa, puja dan mantranya, kemudian dilanjutkan dengan “matepung tawar” serta
diahiri dengan “natab” dan “ngayab” byakala dengan arah tangan kebelakang atau
samping, yang maksudnya mengantarkan dan mempersilahkan para bhuta kala itu
kembali ketempat asalnya. Selesai mebyakala dilanjutkan dengan upacara
“maprayascita”, yang dipergunakan sebagai penyucian yaitu melengkapi upakara
byakala. Kesucian yang diperoleh adalah dengan memohon kekuatan-kekuatan yang
dimiliki oleh para dewa, khususnya dewa nawa sanga, yang mana hal tersebut
dilukiskan dengan lis sanjata. Upacara maprayascita ini memakai lis sanjata
untuk memercikkan tirta sebagai sarana penyucian. Setelah selesai maprayascita,
dilanjutkan dengan upacara “masakapan”, yaitu perkawinan dengan profesinya yang
akan ditekuni dalam kehidupan selanjutnya. Mapadudusan mempergunakan sarana
Api. Padudusan berasal dari kata “dus”, yang artinya mandi atau menyucikan diri
dan dudus(bahasa bali) berarti menyucikan dengan asapnya api, yang di antarkan
dengan doa, puja dan mantra pendeta. Api adalah sarana upakara yang berfungsi
antara lain sebagai alat pembersih dan penyucian. Hal ini disebutkan dalam
pustaka suci Isa Upanisad (bagian Weda Sruti), tentang ke Maha Kuasaan
Tuhan/Hyang Widhi Wasa sebagai pengatur makhluk hidup, yang dinyatakan sebagai
berikut:
“Agne naya supatharayo asman
Wiswani dena wayunani widwan
Yuyudhy asmay yuhuranam eno
Bhuyistham to namo uktim widhona”
“O, Tuhan kuat laksana api, Maka Kuasa, tuntunlah kami semua
segala yang hidup ke jalan yang baik, segala tingkah laku menujkku kepada-Mu
yang bijaksana, jauhkan dai jalan tercela yang jatuh dari padaMu, baik
penghormatan maupun kata-kata yang hamba lakukan”.
Demikian makna upacara Padudusan sebagai upacara penyucian
mempergunakan asapnya api, yang diantarkan oleh pendeta dengan kekuatan
batinnya. Selesai upacara padudusan, dilanjutkan dengan upacara “marajah”, yang
bertujuan untuk mencapai tingkatan yang diseburt dalam bahasa inggris “lotus”,
artinya bunga teratai atau sunyata. Melalui upacara upanayana,
merupakan salah satu jalan bagi umat Hindu untuk menyucikan dirinya secara
lahir dan batin dalam hal mempelajari sastra, aksara suci seperti simbul bunga
lotus atau teratai, yang hidupnya bergumul dengan air dan Lumpur, namun teratai
itu tidak terpengaruh oleh kotornya air dan Lumpur tempatnya hidup.
Untuk menjaga kesuciannya itu, hendaknya diperoleh dengan
daya dan upaya yang suci pula, sehingga dapat dipergunakan kea rah yang suci
juga. Alat-alat yang dipergunakan kea rah yang suci juga. Alat-alat yang
dipergunakan untuk Merajah atau menulisi beberapa organ tubuh dari yang di
upanayana, mempergunakan sarana berupa sirih dan madu, yang
dirajahkan pada :
- diantara kedua kening dengan aksara suci Yang
- di dada dengan aksara suci Dang
- di tunggir dengan aksara Bang
- di telapak tangan dengan aksara suci Tang
- di tengah lidah dengan aksara suci Ing
- di ujung lidah dengan aksara suci Ong
Selesai merajah atau menuliskan aksara-aksara suci itu,
pendeta menulisi pinang dengan aksara suci Ang, Ung, Mang dan pada lekesan siih
dengan aksara suci Ya, Ra, La, Wa dan setelah selesai di tulisi lalu dimantrai,
lalu diberikan kepada yang di upanayana untuk dimakan atau ditelan, yang
mengandung simbolis, bahwa aksara suci ilmu pengetahuan untuk peningkatan
dirinya menuju pada kesucian itu, sudah dimasukkan kedalam dirinya untuk
dipelihara dan menjiwainya berupa kekuatan batin.
Selanjutnya setelah rangkaian upacara merajah itu selesai,
dilanjutkan kemudian dengan upacara mejaya-jaya, yaitu upacara yang bertujuan
menyatakan rasa syukur kehadapan Hyang Widhi Wasa atau manifestasi yang telah
dihadirkan, karena telah dapat dilaksanakan dengan baik semua rangkaian upacara
pembersihan dan penyucian itu.
Selesai mejaya-jaya, dilanjutkan dengan memasang “siroswita”
di kepalal, yaitu dengan secara melingkar pada dahinya. Siroswita adalah sarana
upakara yang dibuat dari 4(empat) lembar daun alang-alang (ambengan) yang
ujung-ujungnya diikatkan menjadi satu , diisi “kalpika”. Kalpika terbuat dari
sehelai daun pucuk (kembang sepatu) berisi tiga macam bunga yang berwarna
merah, putih, dan hitam. Ketiga warna tersebut merupakan simbollis
“pengurip-urip Trimurti”. Semua pemasangan ini dipimpin oleh pendeta yang telah
melaksanakan penyucian diri dengan diikuti oleh doa, puja dan mantranya.
Pemasangan siroswita merupakan anugrah dari Hyang Widhi Wasa, telah mensucikan
yang di upanayana itu secara lahir dan batin. Upacara selanjutnya adalah
Sembahyang. Persembahyangan dalam upacara Upanayana ini mempergunakan sarana
kwangen dengan sasari uang kepeng 11 buah, yang ditujukan kehadapan 9 Dewa
sebagai wujud Dewi saraswati (penguasa ilmu pengetahuan) yang menguasai 9
penjuru mata angin (nawa dewata). Upacara persembahyangan, bertujuan untuk
mendekatkan diri dengan memohon agar Hyang Widhi Wasa yang dipuja selalu dekat
dan memberikan tuntunannya kepada yang di upanayana. Oleh sebab itulah maka
dalam pelaksanaan sembahyang, patut dilakukan dengan cakupan tangan dari ke
sepuluh jari secara rapat-rapat, sebagai simbolis pemusatan antara Panca
Budhindria dan Panca Karmendria, dengan memusatkan pikiran memuja Beliau yang
dihadirkan, untuk dipuja secara lahir dan batin.
Setelah Upacara persembahyangan berakhir, dilanjutkan dengan
upacara “matirta”, yang bertujuan untuk memohon air suci/tirta kehadapan Hyang
Widhi Wasa dan manifestasinya. Tirta adalah air hening yang telah disucikan
secara lahir dan batin. Secara lahir dalam proses pembuatannya melalui
“Ngukup”, yaitu dengan membakar beberapa sarana pengukupan, yang asapnya
diarahkan kedalam periuk tempat tirta itu nantinya , seperti berbagai
wangi-wangian, asep, menyan dan lain sejenisnya, sehingga tirta menjadi harum
dan sedap, setelah itu secara batin dimohonkan oleh pendeta dengan puja dan
mantramnya, kehadapan Hyang Widhi Wasa supaya berkekuatan. Tirta dipercikkan ke
atas ubun-ubun sebanyak tiga kali, adalah untuk mensucikan pikiran, perkataan
dan perbuatan. Berikutnya dipercikkan 3 kali lagi adalah untuk diminum, agar
ditempati oleh Sang Hyang Dharma, dapat membuat ketenangan dunia dan bertutur
kata yang benar. Terakhir dipercikkan 3 kali lagi untuk mencuci muka, bertujuan
agar menjadi suci, mendapatkan ketenangan sehingga dapat menyelesaikan semua
pekerjaan dengan baik dan dapat menyeramakkan dharma. Upacara metirta ini
diakhiri dengan “mebija”. Bija adalah biji yang dimaksudkan sabagai bibit
anugrah Hyang Widhi Wasa, yang dibuat dari beras bercampur air cendana, dimohon
kehadapan Hyang Widhi Wasa, kemudian diberikan kepada yang di upanayana untuk
dilekatkan diantara kedua keningnya secara lahir dan dimakan atau ditelan
secara batin.
Rangkaian upacara selanjutnya setelah natab, adalah
“mapadamel”, yaitu dengan mohon sarana upakara berupa “dodol maduparka”. Untuk
dimakan atau ditelan. Dodol maduparka merupakan sarana yang utama dalam
upanayana itu yang bentuknya seperti “padma” yaitu simbolis dari sthana Sang
Hyang Widhi Aji Saraswati dalam diri manusia. Dengan masuknya dodol maduparka ke
dalam tubuh dari yang Upanayana itu, berarti Sang Hyang Aji Saraswati sudah
berada di dalam diri yang di upanayana. Dodol maduparka terbuat dari 9 macam
bahan, yang merupakan bahan hidangan dari Dewata Nawa sanga seperti :
1. Empehan, adalah simbol serta hidangan terhadap Dewa
iswara
2. Air tebu atau Gula tebu, adalah simbol serta hidangan
terhadap Dewa Brahma
3. Punti sasih atau pisang emas gading adalah simbol serta
hidangan dari Dewa Mahadewa
4. Madu adalah simbol serta hidangan terhadap Dewa Wisnu
5. Baem warak atau Cula badak dan air adalah simbol serta
hidangan terhadap Dewa Maheswara
6. Uyah Uku atau Garam adalah simbol serta hidangan terhadap
Dewa Rudra
7. Berem atau air Tape Injin adalah simbol serta hidangan
terhadap Dewa Sankara
8. Empol atau Kuwud atau buah ental muda adalah simbol serta
hidangan terhadap Dewa Sambbhu
9. Daun Abaas adalah simbol serta hidangan terhadap Dewa
Siwa.
Setelah semua rangkaian upacara upanayana selesai
dilaksanakan, maka untuk menenangkan dan menghayati semua makna dan tujuan dari
pelaksanaan semua jenis upacara-upacara tersebut, untuk nantinya dapat
dilanjutkan dengan pelaksanaan upacara “brata”, yaitu tidak makan, minum dan
tidur berturut-turut dari matahari terbit hingga terbenam. Brata tersebut
bermakna untuk mengendalikan diri terhadap pikiran, perkataan dan perbuatan,
agar mengarah pada hal-hal yang bersifat suci dan batin. Melalui pelaksanaan
brata, tuntunan-tuntunan yang telah didapatkan dapat lebih ditingkatkan untuk
menghayati dan mengamalkan swadharmanya. Dalam tuntunan pustaka suci
Sarasamuccaya dalam sloka 306 yang berbunyi sebagai berikut:
“Kunang laksana sang sadhu, tan agirang yan inalem, tan
alara yan ininda, tan kataman krodha, pis aningun ujara kenang parusa wacana,
langgeng dhirahning manah nira”
“Adapun prilaku orang yang sadhu, tidak gembira jika dipuji,
jika dicela tidak sedih pun tidak marah, tidak akan mengucapkan kata-kata
kasar, sebaiknya selalu tetap teguh pikirannya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar