Astadasaparwa
- Adiparwa
- Sabhaparwa
- Wanaparwa
- Wirataparwa
- Udyogaparwa
- Bhismaparwa
- Dronaparwa
- Karnaparwa
- Salyaparwa
- Sauptikaparwa
- Striparwa atau Stripalapraparwa
- Santiparwa
- Anusasanaparwa
- Aswamedikaparwa
- Asramawasikaparwa
- Mosalaparwa
- Prasthanikaparwa
- Swargarohanaparwa
Bagian-bagian Astadasaparwa
Adiparwa versi Jawa Kuna yang
diterbitkan oleh Dinas Pendidikan Daerah Tingkat I provinsi Bali
Kitab
Adiparwa merupakan kitab pertama dari seri Astadasaparwa yang
menceritakan berbagai kisah yang bernafaskan ajaran Hindu. Kisah kepahlawanannya dibumbui oleh ilmu sakti dan mitologi. Pada bagian awal yang diceritakan adalah kisah Maharaja Janamejaya yang menyelenggarakan upacara pengorbanan ular. Upacara yang diselenggarakannya kemudian gagal. Untuk
menghibur Sang Raja, Bagawan Wesampayana menuturkan sebuah kisah tentang para leluhur Sang Raja,
kemudian beralih kepada cerita pemutaran Mandaragiri, kisah Sang Garuda dan para Naga, kisah Bagawan Dhomya, kisah para Raja besar:
Yayati, Bharata,
Santanu. Selain itu kitab Adiparwa juga menceritakan kisah
kelahiran Rsi Byasa (penyusun kitab Mahabharata), kisah masa kecil Pandawa dan Korawa,
kisah para Pandawa mendapatkan Dropadi sebagai istri mereka atas kemenangan Sang Arjuna, kisah Arjuna yang mengasingkan diri ke hutan kemudian
menikah dengan Chitrāngadā, Ulupi,
dan Subadra, serta kisah lahirnya Abimanyu, putera Arjuna dengan Subadra.
Kitab
Sabhaparwa merupakan kitab kedua dari seri Astadasaparwa. Kitab
Sabhaparwa menceritakan kisah para Korawa yang mencari akal untuk melenyapkan para Pandawa. Atas siasat licik Sangkuni, Duryodana
mengajak para Pandawa main dadu. Taruhannya adalah harta, istana, kerajaan,
prajurit, sampai diri mereka sendiri. Dalam permainan yang telah disetel dengan
sedemikian rupa tersebut, para Pandawa kalah. Dalam kisah tersebut juga
diceritakan bahwa Dropadi
ingin ditelanjangi oleh Dursasana
karena menolak untuk menyerahkan pakaiannya. Atas bantuan Sri Kresna, Dropadi berhasil diselamatkan. Pandawa yang sudah kalah
wajib untuk menyerahkan segala hartanya, namun berkat pengampunan dari Dretarastra, para Pandawa mendapatkan kebebasannya kembali. Tetapi
karena siasat Duryodana yang licik, perjudian dilakukan sekali lagi. Kali ini
taruhannya adalah siapa yang kalah harus keluar dari kerajaannya dan
mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun. Pada tahun yang ke-13, yang kalah
harus hidup dalam penyamaran selama 1 tahun. Pada tahun yang ke-14, yang kalah
berhak kembali ke kerajaannya. Dalam pertandingan tersebut, para Pandawa kalah
sehingga terpaksa mereka harus meinggalkan kerajaannya.
Kitab
Wanaparwa merupakan kitab ketiga dari seri Astadasaparwa. Kitab
Wanaparwa menceritakan kisah pengalaman para Pandawa bersama Dropadi di tengah hutan. Mereka bertemu dengan Rsi Byasa, seorang guru rohani yang mengajarkan ajaran-ajaran Hindu kepada Pandawa dan Dropadi, istri mereka. Atas saran Rsi
Byasa, Arjuna bertapa di gunung Himalaya agar memperoleh senjata sakti yang kelak digunakan dalam Bharatayuddha. Kisah Sang Arjuna yang sedang menjalani masa bertapa di
gunung Himalaya menjadi inspirasi untuk menulis Kakawin Arjuna
Wiwaha.
Kitab
Wirataparwa merupakan kitab keempat dari seri Astadasaparwa. Kitab ini
menceritakan kisah penyamaran para Pandawa beserta Dropadi di Kerajaan
Wirata. Yudistira menyamar sebagai seorang ahli agama, Bima menyamar sebagai juru masak, Arjuna menyamar sebagai guru tari, Nakula menyamar sebagai penjaga kuda, Sahadewa menyamar sebagai pengembala, dan Dropadi menyamar sebagai penata rias.
Kitab
Udyogaparwa merupakan kitab kelima dari seri Astadasaparwa. Kitab ini
menceritakan sikap Duryodana
yang tidak mau mengembalikan kerajaan para Pandawa yang telah selesai menjalani masa pengasingan, namun
sebaliknya ia menantang mereka untuk berperang. Pandawa yang selalu bersabar
mengirimkan duta perdamaian ke pihak Korawa, namun usaha mereka tidak membuahkan perdamaian. Sikap para
Korawa membuat perang tidak dapat dielakkan. Pandawa dan Korawa mempersiapkan
kekuatannya dengan mencari bala bantuan dan sekutu ke seluruh pelosok Bharatawarsha (India Kuno). Sri Kresna mengajukan tawaran kepada Pandawa dan Korawa, bahwa di
antara mereka boleh meminta satu pilihan: pasukannya atau tenaganya. Melihat
tawaran tersebut, Pandawa yang diwakili Arjuna menginginkan tenaga Sri Kresna sebagai kusir dan penasihat
sedangkan Korawa yang diwakili Duryodana memilih pasukan Sri Kresna. Dalam
kitab ini juga diceritakan kisah perjalanan Salya – “Sang Raja Madra” – menuju markas Pandawa karena memihak mereka, namun di
tengah jalan ia disambut dengan baik oleh Duryodana sehingga Salya mengubah
pikirannya dan memihak Korawa karena merasa berhutang kepada Duryodana.
Duryodana juga berniat jahat terhadap Sri Kresna namun karena Sri Kresna bukan
manusia biasa, maka usahanya tidak berhasil.
Bhagawad
Gita, sebuah bab dari kitab Bhismaparwa
yang kemudian menjadi kitab tersendiri. Isinya mengenai ajaran-ajaran Agama
Hindu yang disampaikan oleh perantara Kresna kepada Arjuna
Kitab
Bhismaparwa merupakan kitab keenam dari seri Astadasaparwa. Kitab ini
menceritakan kisah dimulainya pertempuran akbar antara pihak Pandawa dan Korawa
di sebuah daratan luas yang sangat suci dan keramat bernama Kurukshetra, letaknya di sebelah utara negeri India. Setelah kedua belah pihak sepakat dengan aturan perang,
maka kedua belah pihak berkumpul dan memenuhi daratan Kurukshetra, siap untuk
berperang. Pihak Korawa dipimpin oleh Bhisma sedangkan pihak Pandawa dipimpin oleh Drestadyumna. Sebelum pertempuran berlangsung, Arjuna dilanda keraguan dan kebimbangan setelah ia melihat para
saudara dan kerabatnya berkumpul untuk saling membantai. Arjuna tidak tega
untuk membunuh para Korawa, yang masih merupakan saudara. Karena Arjuna dilanda
oleh berbagai keraguan, Kresna
yang berperan sebagai kusir kereta Arjuna mencoba menyadarkannya dengan
memberikan wejangan-wejangan suci yang kemudian dikenal sebagai “Bhagawad
Gita”, atau “Nyanyian seorang
rohaniwan”. Bhagawad Gita ini menjadi kitab tersendiri yang merupakan intisari
dari ajaran-ajaran Veda. Wejangan suci dari Kresna membuat Arjuna bangkit, dan
melangsungkan pertempuran. Akhirnya Bhisma yang menjadi panglima perang Korawa,
gugur pada hari kesepuluh dengan siasat Arjuna yang menggandeng Srikandi.
Kitab
Dronaparwa merupakan kitab ketujuh dari seri Astadasaparwa. Kitab ini
menceritakan kisah diangkatnya Bagawan Drona sebagai panglima perang pasukan Korawa setelah Rsi Bhisma gugur di tangan Arjuna. Dalam kitab ini diceritakan bahwa Drona ingin menangkap Yudistira hidup-hidup untuk membuat Duryodana senang. Usaha tersebut tidak berhasil karena Arjuna selalu
melindungi Yudistira. Pasukan yang dikirim oleh Duryodana untuk membinasakan
Arjuna selalu berhasil ditumpas oleh para ksatria Pandawa seperti Bima
dan Satyaki. Dalam kitab Dronaparwa juga diceritakan tentang siasat Sri
Kresna yang menyuruh agar Bima membunuh gajah bernama Aswatama.
Setelah gajah tersebut dibunuh, Bima berteriak sekeras-kerasnya bahwa Aswatama
mati. Drona menanyakan kebenaran ucapan tersebut kepada Yudistira, dan
Yudistira berkata bahwa Aswatama mati. Mendengar hal tersebut, Drona kehilangan
semangat berperang sehingga meletakkan senjatanya. Melihat hal itu, ia
dipenggal oleh Drestadyumna.
Setelah kematian Drona, Aswatama,
putera Bagawan Drona, hendak membalas dendam. Dalam kitab Dronaparwa juga
diceritakan kisah gugurnya Abimanyu yang terperangkap dalam formasi Cakrawyuha serta gugurnya Gatotkaca dengan senjata sakti panah Konta.
Kitab
Karnaparwa merupakan kitab kedelapan dari seri Astadasaparwa. Kitab
ini menceritakan kisah diangkatnya Karna sebagai panglima perang pasukan Korawa, menggantikan Bagawan Drona yang telah gugur. Setelah Abimanyu dan Gatotkaca
gugur, Arjuna dan Bima mengamuk. Mereka banyak membantai pasukan Korawa. dalam kitab ini diceritakan bahwa Bima berhasil membunuh Dursasana dan merobek dadanya untuk meminum darahnya. Salya, Raja Madra, menjadi kusir kereta Karna. Kemudian terjadi pertengkaran
antara Salya dengan Karna. Dalam kitab ini diceritakan bahwa roda kereta
perang Karna terperosok ke dalam lubang.
Karna turun dari kereta dan mencoba untuk mengangkat roda keretanya. Dengan
senjata panah pasupati, Arjuna
berhasil membunuh Karna yang sedang lengah.
Kitab
Salyaparwa merupakan kitab kesembilan dari seri Astadasaparwa. Kitab
ini menceritakan kisah diangkatnya Salya sebagai panglima perang pasukan Korawa, menggantikan Karna yang telah gugur. Salya hanya memimpin selama setengah
hari, karena pada hari itu juga Salya gugur di tangan Yudistira. Dalam kitab ini diceritakan kisah Duryodana yang ditinggal mati saudara dan sekutunya dan kini hanya ia
sendirian sebagai Korawa
yang menyerang Pandawa.
Semenjak seluruh saudaranya gugur demi memihak dirinya, Duryodana menyesali
segala perbuatannya dan berencana untuk menhentikan peperangan. Ia pun bersedia
untuk menyerahkan kerajaannya kepada para Pandawa agar mampu meninggalkan dunia
fana dengan tenang. Sikap Duryodana tersebut menjadi ejekan bagi para Pandawa.
Karena tidak tahan, Duryodana tampil ke medan laga dan melakukan perang tanding
menggunakan gada melawan Bima. Dalam pertempuran tersebut, Kresna yang mengetahui kelemahan Duryodana menyuruh Bima agar
memukul paha Duryodana. Setelah pahanya terpukul, Duryodana kalah. Namun
sebelum ia meninggal, Aswatama
yang masih hidup diangkat menjadi panglima perang.
Kitab
Sauptikaparwa
merupakan kitab kesepuluh dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah
tiga ksatria dari pihak Korawa
yang melakukan serangan membabi buta pada di malam hari, saat tentara Pandawa sedang tertidur pulas. Ketiga ksatria tersebut adalah Aswatama, Krepa,
dan Kritawarma. Aswatama yang didasari motif balas dendam membunuh seluruh
pasukan Panchala
termasuk Drestadyumna,
yang membunuh Drona, ayah Aswatama. Selain itu Aswatama juga membunuh Srikandi serta kelima putera Pandawa atau Pancawala. Aswatama kemudian menyesali perbuatannya lalu pergi ke
tengah hutan, berlindung di pertapaan Rsi Byasa. Para Pandawa dan Kresna menyusulnya. Kemudian di sana terjadi pertarungan sengit
antara Aswatama dengan Arjuna. Rsi Byasa dan Kresna berhasil menyelesaikan
pertengkaran tersebut. Kemudian Aswatama menyerahkan seluruh senjata dan
kesaktiannya. Ia sendiri mengundurkan diri demi menjadi pertapa.
Kitab
Striparwa merupakan kitab kesebelas dari seri Astadasaparwa. Kitab
ini menceritakan kisah ratap tangis para janda yang ditinggal suaminya di medan
perang. Dikisahkan pula Dretarastra yang sedih karena kehilangan putera-puteranya di medan
perang, semuanya telah dibunuh oleh Pandawa. Yudistira
kemudian mengadakan upacara pembakaran jenazah bagi mereka yang gugur dan
mempersembahkan air suci kepada arwah leluhur. Dalam kitab ini, Kunti menceritakan asal usul Karna yang selama ini menjadi rahasia pribadinya.
Kitab
Santiparwa merupakan kitab kedua belas dari seri Astadasaparwa. Kitab
ini menceritakan kisah berkumpulnya Dretarastra, Gandari,
Pandawa, dan Kresna
di Kurukshetra.
Mereka sangat menyesali segala perbuatan yang telah terjadi dan hari itu adalah
hari tangisan. Yudistira
menghadapi masalah batin karena ia merasa berdosa telah membunuh guru dan
saudara sendiri. Kemudian Bhisma
yang masih terbujur di atas panah memberikan wejangan kepada Yudistira. Ia
membeberkan ajaran-ajaran Agama
Hindu secara panjang lebar kepadanya. Rsi
Byasa dan Kresna
turut membujuknya. Mereka semua memberikan nasihat tentang ajaran kepemimpinan
dan kewajiban yang mesti ditunaikan oleh Yudistira.
Kitab
Anusasanaparwa
merupakan kitab ketiga belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan
kisah Yudistira yang menyerahkan diri bulat-bulat kepada Bhisma untuk menerima ajarannya. Bhisma menjelaskan ajaran Agama
Hindu dengan panjang lebar kepadanya,
termasuk ajaran kepemimpinan, pemeintahan yang luhur, pelajaran tentang
menunaikan kewajiban, tentang mencari kebahagiaan, dan sebagainya. Akhirnya,
Bhisma yang sakti mangkat ke surga dengan tenang.
Kitab
Aswamedhikaparwa
merupakan kitab keempat belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan
kisah kelahiran Parikesit
yang sebelumnya tewas dalam kandungan karena senjata sakti milik Aswatama. Dengan pertolongan dari Kresna, Parikesit dapat dihidupkan kembali. Kemudian Yudistira melakukan upacara Aswamedha. Untuk menyelenggarakan upacara tersebut, ia melepas seekor
kuda. Kuda tersebut mengembara selama setahun dan di belakangnya terdapat
pasukan Pandawa yang dipimpin oleh Arjuna. Mereka mengikuti kuda tersebut kemanapun pergi.
Kerajaan-kerajaan yang dilalui oleh kuda tersebut harus mau tunduk di bawah
kuasa Yudistira jika tidak mau berperang. Sebagian mau tunduk sedangkan yang
membangkang harus maju bertarung dengan Arjuna karena menentang Yudistira. Pada
akhirnya, para Raja di daratan India mau mengakui Yudistira sebagai Maharaja Dunia.
Kitab
Asramawasikaparwa
merupakan kitab kelima belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan
kisah Dretarasta,
Gandari, Kunti,
Widura dan Sanjaya
yang menyerahkan kerajaan sepenuhnya kepada Raja Yudistira sedangkan mereka pergi bertapa ke tengah hutan. Pandawa sempat mengunjungi pertapaan merekja di tengah hutan.
Akhirnya, Batara
Narada datang ke hadapan para Pandawa, dan
mengatakan bahwa hutan tempat Dretarastra, Gandari, Kunti bertapa terbakar oleh
api suci mereka sendiri, sehingga mereka wafat dan langsung menuju surga.
Kitab
Mosalaparwa merupakan kitab keenam belas dari seri Astadasaparwa. Kitab
ini menceritakan kisah binasanya bangsa Wresni karena kutukan seorang Brahmana. Bangsa Wresni menghancurkan sesamanya dengan menggunakan
senjata gada (mosala) setelah lupa diri karena meminum arak yang
menyebabkan mereka mabuk. Sehabis pertempuran bangsa Wresni, Baladewa bermeditasi di tengah hutan kemudian mengeluarkan ular suci
dari mulutnya, setelah itu ia menghilang mencapai keabadian. Setelah Kresna ditinggal Baladewa dan bangsa Wresni musnah semua, ia pergi
ke tengah hutan untuk bertapa. Di dalam hutan, seorang pemburu melihat kaki
Kresna bagaikan seekor rusa kemudian menembakkan anak panah. Hal tersebut
membuat Kresna mencapai keabadian dan meninggalkan dunia fana. Arjuna sempat mengunjungi Dwarawati, dan ia mendapati bahwa kota
tersebut telah sepi. Ia mengadukan hal tersebut kepada Rsi Byasa, dan Rsi Byasa menasihati para Pandawa agar meninggalkan hal-hal duniawi untuk menempuh hidup
sebagai “Sanyasin” (pertapa).
Kitab
Prasthanikaparwa
merupakan kitab ketujuh belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan
kisah Pandawa dan Dropadi
yang mengundurkan diri dari pemerintahan dan menjauhkan diri dari kehidupan
duniawi untuk menjadi seorang pertapa. Mereka menyerahkan tahta kepada Parikesit, satu-satunya keturunan mereka yang selamat dari perang Bharatayuddha. Para Pandawa beserta Dropadi berencana untuk berziarah ke
gunung Himalaya sebagai akhir hidup mereka. Dalam perjalanan, Dropadi dan
satu persatu dari Pandawa bersaudara (Sahadewa, Nakula,
Arjuna, Bima) meninggal dalam perjalanan. Hanya Yudistira yang masih hidup dan melanjutkan perjalanannya. Yudistira
membiarkan jenazah saudara-saudaranya terkubur di tengah perjalanan tanpa
memberikan upacara pembakaran yang layak. Di tengah jalan, Yudistira bertemu
dengan seekor anjing,
dan anjing tersebut kemudian menjadi teman perjalanannya. Bersama-sama, mereka
berdua berhasil mencapai puncak. Sesampainya di puncak, kereta kencana Dewa Indra pun turun ke bumi untuk menjemput Yudistira ke surga.
Kitab
Swargarohanaparwa
merupakan kitab kedelapan belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan
akhir kisah perjalanan suci yang dilakukan oleh Pandawa. Kisahnya diawali dengan penolakan Yudistira yang tidak mau berangkat ke surga jika harus meninggalkan anjing yang setia menemani dalam
perjalanannya. Atas ketulusan hati Yudistira, si anjing pun menampakkan wujud
aslinya sebagai Dewa Dharma,
ayah Yudistira. Dewa Dharma mengatakan bahwa Yudistira telah berhasil melewati
ujian yang diberikan kepadanya dengan tenang. Setelah mengetahui yang
sebenarnya, Yudistira bersedia berangkat ke surga. Sesampainya di surga,
Yudistira terkejut karena tidak menemukan saudara-saudaranya yang saleh,
melainkan mendapati bahwa Duryodana beserta sekutunya yang jahat ada di sana. Sang Dewa
mengatakan bahwa mereka bisa berada di surga karena gugur di tanah suci Kurukshetra. Yudistira kemudian berangkat ke neraka. Di sana ia
mendengar suara saudara-saudaranya yang menyayat agar mau menemani penderitaan
mereka. Yudistira yang memilih untuk tinggal di neraka bersama saudara yang
saleh daripada tinggal di surga bersama saudara yang jahat membuat para Dewa
tersentuh. Tabir ilusi pun dibuka. Dewa Indra menjelaskan bahwa sebenarnya saudara-saudara Yudistira
telah berada di surga bersama dengan saudaranya yang jahat. Yudistira pun
menyadarinya kemudian hidup berbahagia di surga setelah membuang jasadnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar