KARMAPHALA
Karmaphala adalah salah satu bagian dari
Panca Sraddha, yaitu lima dasar kepercayaan (keyakinan) dalam agama Hindu : (1)
Widhi Sraddha yaitu percaya adanya Tuhan/Sang Hyang Widhi; (2) Atma Sraddha
yaitu percaya adanya atma; (3) Karmaphala Sraddha artinya percaya akan hukum
Karmaphala; (4) Punarbhawa Sraddha artinya percaya adanya punarbhawa atau
reinkarnasi; dan (5) Moksa Sraddha yaitu percaya akan Moksa. Karena itu,
seorang Hindu haruslah meyakini akan adanya konsep tersebut.
Kata Karma berasal dari bahasa Sansekerta
“Kr” yang berarti berbuat, bekerja, bergerak, bertingkah laku dan phala berarti
buah/hasil. Berdasarkan hukum sebab akibat, atau aksi reaksi maka segala sebab
pasti akan membuahkan akibat (Phala). Karmaphala berarti buah dari
perbuatan/prilaku yang telah dilakukan atau yang akan dilakukan. Dalam konsep
Hindu, berbuat atau berprilaku terdiri atas: perbuatan melalui pikiran,
perbuatan melalui perkataan, dan perbuatan melalui tingkah laku. Ketiga inilah
yang akan mendatangkan hasil bagi yang berbuat. Kalau perbuatannya baik,
hasilnya pasti baik, demikian pula sebaliknya.
Sumber sastra yang menyebutkan adanya
Karmaphala antara lain:
(1) Kitab
Bhagawadgita
(2) Kitab
Slokantara
(3) Kitab
Wrahaspatti Tattwa
(4) Agastiya
Parwa
(5) Santi
Parwa
Dalam Sloka pada Bhagawad Gita Bab III,
sloka 4 dan 5 disebutkan “Bukan dengan
jalan tiada bekerja, orang mencapai kebebasan dari ikatan perbuatan. Juga
dengan tiada hanya melepaskan diri dari kerja orang akan mencapai kesempurnaan
hidup” (Sloka 4). Selanjutnya dalam Sloka 5 disebutkan “Sebab tiada seorangpun
akan dapat tinggal diam walau hanya
sekejap mata juga
tanpa melakukan pekerjaan
(karma). Tiap-tiap orang selalu digerakkan oleh dorongan alamnya sendiri dengan
tiada berdaya”.
Dalam Slokantara 68 juga dinyatakan
“Karmaphala ngaran ika phalaning gawe hala hayu” artinya Karmaphala merupakan
akibat (phala) dari baik buruk suatu perbuatan (karma).
Sedangkan dalam Agastiya Parwa 335-15
menyebutkan bahwa Bhatara Dharma yang juga bergelar Bhatara Yama mengamati dan
mengadili baik buruk perbuatan manusia, dan karma itu memberikan akibat yang
besar terhadap kebahagiaan atau penderitaan hidup manusia.
Yang terakhir dalam Santi parwa 129-21
disebutkan “Walaupun phala kejahatan perbuatan seseorang tiada terlihat pada
orang itu sendiri, meskipun raja, namun pasti akan terlihat pada anak cucu
sampe buyutnya juga”.
Karmaphala terbagi atas tiga, yaitu :
a.
Sancita Karmaphala (Phala/Hasil yang
diterima pada kehidupan sekarang atas perbuatannya di kehidupan sebelumnya).
Sancita Karmaphala adalah Phala hasil perbuatan kita dalam kehidupan terdahulu
yang belum habis dinikmati, merupakan benih yang akan menentukan kehidupan kita
sekarang.
b.
Prarabdha Karmaphala (Karma/Perbuatan yang
dilakukan pada kehidupan saat ini dan Phalanya akan diterima pada kehidupan
saat ini juga). Prarabdha Karmaphala adalah Phala hasil perbuatan kita di
kehidupan ini yang dinikmati saat ini juga tanpa tersisa lagi. Contohnya, kita
bekerja untuk mendapatkan hasil kerja untuk menikmati kehidupan yang lebih
baik.
c.
Kryamana Karmaphala (Karma/Perbuatan yang
dilakukan pada kehidupan saat ini, namun Phalanya akan dinikmati pada kehidupan
yang akan datang). Kryamana Karmaphala adalah Phala hasil perbuatan yang tidak
sempat dinikmati pada saat berbuat sehingga harus diterima di kehidupan yang
akan datang.
Ada pula pembagian Karmaphala berdasarkan
jenis karma yang dilakukannya yaitu :
a.
Karma Sangga, yaitu segala perbuatan atau
tugas kewajiban yang berhubungan dengan keduniawian, menyangkut kehidupan
sosial manusia. Bila seseorang karyawan bekerja dengan tenaga jasmaninya akan
menerima upah yang disebut “Karma Kara”, sedangkan karyawan yang bekerja dengan
tenaga rohani/pikirannya akan menerima upah yang disebut “Karma Kesama”.
b.
Karma Yoga, yaitu segala perbuatan yang
dilakukan tanpa terikat keduniawian, tanpa memikirkan upahnya, karena keyakinan
bahwa segala yang dilakukannya adalah atas kehendak Hyang Widhi sesuai dengan
ethika agamanya.
Sebenarnya sangat banyak peristiwa di
masyarakat dalam kehidupan ini yang sesungguhnya merupakan refleksi dari
Karmaphala itu sendiri. Misalnya saja ada yang kelihatannya tidak banyak
berbuat baik atau malah melakukan dosa, tetapi kehidupannya tetap baik-baik
saja, harta melimpah, dan seterusnya. Bahkan mungkin hanya dengan senyumsenyum
saja (bintang iklan, misalnya), beberapa orang bisa memperoleh uang dengan
mudah. Sebaliknya, ada yang bekerja seharian membanting tulang, hasilnya hanya
cukup untuk makan hari itu. Semua itu adalah pengaruh dari Sancita, yaitu
tabungan phala di masa lalu, yang saat ini sedang dinikmati hasilnya. Mungkin
pada kehidupan terdahulu mereka itu gemar berdharma dan beryajna. Sebaliknya,
mereka yang hidupnya menderita saat ini, mungkin saja dahulu pemalas, suka
berfoya, dan sebagainya. Sancita karma dan prarabda tak bisa dipisahkan.
Sancita menjelaskan berbagai perbedaan dan “ketimpangan” nasib hidup manusia di
masa yang sedang dialaminya kini. Sancita pula yang bisa menjawab mengapa ada
yang lahir dengan wajah gagah, atau cantik, lalu memiliki bekal hidup material
yang lebih dari cukup. Lalu, ada yang lahir dengan kekurangberuntungan, baik
fisiknya maupun bekal hidup.
Menjadi apa kita sekarang dan di mana kita
sekarang adalah hasil/akibat dari pilihanpilihan kita di masa lalu,
keputusan-keputusan kita di masa lalu, dan tindakan-tindakan kita di masa lalu.
Bahkan saat ini kita berada di studio TVRI ini adalah akibat dari pilihan-pilihan
kita tadi sore. Keputusan kita tadi sore adalah pergi ke studio dan tindakan
kita adalah berangkat ke studio. Sebagai akibatnya, saat ini kita tengah berada
di studio untuk siaran.
Tegasnya, bahwa cepat atau lambat, dalam
kehidupan sekarang atau nanti, segala hasil perbuatan itu pasti akan diterima,
karena hal itu sudah merupakan hukum perbuatan. Di dalam Weda (Wrhaspati Tatwa
3), dinyatakan sebagai berikut: "Wasana artinya bahwa semua perbuatan yang
telah dilakukan di dunia ini. Orang akan mengecap akibat perbuatannya di alam
lain, pada kelahiran nanti; apakah akibat itu akibat yang baik atau yang buruk.
Apa saja perbuatan yang dilakukannya, pada akhirnya kesemuanya itu akan
menghasilkan buah. Hal ini adalah seperti periuk yang diisikan kemenyan,
walaupun kemenyannya sudah habis dan periuknya dicuci bersih-bersih namun tetap
saja masih ada bau, bau kemenyan yang melekat pada periuk itu. Inilah yang
disebut wasana. Seperti juga halnya dengan karma wasana. Ia ada pada Atman. Ia
melekat pada-Nya. Ia mewarnai Atman”.
Semua makhluk pasti mengalami yang namanya
Hukum Karmaphala. Bahkan alam semesta juga tidak lepas dari hukum Karma.
Sehingga Hukum Karmaphala juga disebut Hukum Alam (Rta). Waktu berganti, siang
dan malam terjadi akibat bumi yang terus berputar.
Karmaphala memberi optimisme kepada setiap
manusia, bahkan semua makhluk hidup. Dalam ajaran ini, semua perbuatan akan
mendatangkan hasil bagi yang berbuat. Apapun yang kita perbuat, seperti itulah
hasil yang akan kita terima. Yang menerima adalah yang berbuat, bukan orang
lain. Karmaphala adalah sebuah Hukum Universal bahwa setiap perbuatan akan
mendatangkan hasil.
Dalam masa kehidupannya, setiap mahluk
tidak akan putus-putusnya melakukan karma, oleh karena nya tidak akan
putus-putus pula Karmaphala yang dinikmatinya. Ada yang sempat menikmatinya
pada masa kehidupannya saat ini, ada pula yang dinikmatinya pada masa hidupnya
yang akan datang, serta ada pula yang akan dinikmatinya di akhirat kelak.
Karmaphala seseorang bisa saja diterima
atau dinikmati orang lain/keturunannya. Dalam kepercayaan/keyakinan Hindu ada
istilah Karmaphala Sentana yaitu hasil/pahala dari perbuatan yang diterima oleh
sentana/keturunan akibat perbuatan orang tua (leluhur).
Ini bisa saja terjadi, sebagai contoh: Ada
sebuah keluarga kaya namun begitu kikir/pelit dan sombong. Karena merasa sudah
memiliki segalanya, mereka tidak mau bersosialisasi dengan masyarakat lain.
Tidak pernah ikut kerja bakti, gotong-royong dengan para tetangga. Bahkan
anak-anak mereka dilarang bergaul sembarangan. Suatu ketika mereka bangkrut dan
jatuh miskin. Sang orangtua kemudian mendapat serangan jantung dan meninggal.
Nah dalam kondisi seperti ini tentu si anak akan menjadi bingung, dan tidak
tahu harus berbuat apa.
Akibatnya sang anaklah yang menanggung
beban dan penderitaan yang dibentuk oleh orangtuanya sendiri.
Maka dari itu, hendaknya bijak-bijaklah
kita sebagai orangtua untuk senantiasa memberi contoh dan tauladan yang baik
serta selalu melaksanakan dharma. Karena kita harus ingat bahwa masih ada
sentana (keturunan) atau generasi penerus kita yang nanti akan menjadi pembawa
tongkat estafet dharma. Dan jangan lupa, apa yang kita tanamkan pada anak pula
yang akan membentuk si anak akan menjadi bahagia atau sebaliknya.
Karmaphala adalah hasil perbuatan manusia.
Sementara itu, perbuatan manusia ada tiga jenis yaitu pikiran, perkataan, dan
perbuatan. Nah terkait dengan phala yang diterima dari pikiran, dalam Kitab
suci disebutkan “riastu ri angen-angen maphala juga ika” Artinya: kendatipun
masih tarap pemikiran, berbuah juga ia.
Itulah salah satu yang membedakan Agama
Hindu dengan agama lainnya, juga membedakan dengan hukum Pidana. Hukum Pidana
baru bisa kena hukuman apabila sudah ada bukti, saksi dan kesaksian dengan
melewati proses hukum yang panjang (melibatkan aparat Polri, Kejaksaan dan
Pengadilan). Tiada sebab tanpa akibat
dan tiada akibat tanpa sebab atau tiada Karma tanpa Phala dan tiada Phala tanpa
Karma. Baik buruknya suatu akibat (Phahala/hasil) sangat tergantung pada baik buruknya
sebab (Karma/perbuatan) itu sendiri.
Karenanya semua kegiatan kita dalam
berpikir, berkata dan berbuat harus berlandaskan wiweka (kemampuan untuk
membeda-bedakan, menimbang-nimbang dan akhirnya memilih antara yang baik dan
buruk , salah dan benar dan sebagainya).
Jika kita andaikan perbuatan masa lalu
adalah garam yang terlanjur banyak dimasukkan ke dalam sayur. Sayurnya jadi
asin. Karena sudah terlanjur, perbuatan itu tak bisa dibatalkan. Garam itu
tidak bisa lagi dipungut. Kita hanya bisa menikmati asinnya. Nah, rasa asin ini
bisa dikurangi dengan menambahkan air ke dalam sayur tersebut. Perbuatan
menambahkan air inilah yang bisa diandaikan dengan Prarabda Karma. Bukankah
tetap ada gunanya? Demikian pula usaha yang dilakukan dalam kehidupan sekarang
bisa mengurangi penderitaan sebagai akibat perbuatan masa lalu. Kalau kita
menderita sebenarnya kita sedang “melunasi” hutang sisa perbuatan itu.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Karmaphala
adalah hukum yang pasti dialami oleh setiap orang, bahkan seluruh isi alam. Dan
hukum ini juga dapat memberikan dorongan/motivasi
untuk senantiasa berbuat dharma.
Hukum Karmaphala seharusnya tidaklah
menyebabkan manusia menjadi putus asa, pasif dan apatis atau menyerah pada
nasib aja, melainkan memberikan dorongan spiritual aktif, dinamis dan positif
kepada umat manusia untuk berbuat baik dalam mengatasi segala macam penderitaan
hidupnya lahir bathin, sehingga akan membentuk watak manusia susila dengan
karmanya yang tinggi.
Hukum Tuhan ini sungguh sederhana, namun
ia menjadi begitu kompleks karena beraneka-macam perbuatan (karma) yang
dilakukan oleh sang manusia dengan beraneka macam akibat (phala) nya. Karma,
sesungguhnya merupakan media untuk mencapai kelepasan atau tujuan tertinggi
agama Hindu yaitu Moksa. Kebebasan abadi
berupa Moksa dapat dicapai dengan tidak mengikatkan diri pada pamrih dari suatu
perbuatan (Karma). Namun bukan berarti
bahwa orang tidak berbuat apa-apa lantas nongkrong duduk termangu-mangu atau
bermalas-malasan hanya duduk dan berdoa mengharap rejeki dan kebahagian jatuh
dari langit, jutsru ia harus selalu berbuat dan berjuang menegakkan Dharma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar