loading...


Selasa, 29 Agustus 2017

SAMSKARA
DEFINISI SAMSKARA
Kata “Samskara” berasal dari bahasa sansekerta yang memiliki banyak arti, diantaranya yang erat kaitannyadengan pelaksanaan yadnya. Maka kata samskara berarti membudayakan, membiasakan, menyucikan, menjadikan sempurna, dan dapat pula berarti upacara keagamaan.
Apabila dihubungkan dengan kenyataan yang membudaya dalam masyarakat Hindu dalam hubungannya dengan pengamalan ajaran agama, maka kita hampir selalu akan melihat adanya pelaksanaan beraneka ragam upacara. Upacara-upacara tersebut sesungguhnya merupakan korban suci yang bertujuan untuk membersihkan lahir batin dan memelihara hidup umat manusia secara rohaniah, mulai dari terbentuknya jasmani di dalam kandungan sampai dengan berakhirnya kehidupan itu.
Jadi, samskara itu merupakan upacara keagamaan yang bertujuan untuk menyucikan badan dan menjadikannya sempurna, agar layak memuja Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam keadaan diri yang bersih atau suci itulah diharapkan Sang Hyang Widhi Wasa berkenan memberikan anugerah bahkan meragasukma pada diri manusia. Hal ini digambarkan dalam sebuah kitab Arjuna Wiwaha yang berbunyi :
Sasi wimbha haneng gatha mesi banyu, ndan asing suci nirmala mesi wulan, iwa mangkana rakwa kiteng kadadin, ring angmbeki yoga kiteng sakala”.
Artinya :
Bagaikan bayangan bulan pada tempayan yang berisi air, hanya pada air yang bersih dan tenang itulah bayangan bulan itu tampak. Demikianlah pula Dia akan menampakkan diri (meragasukma) pada orang yang berjiwa bersih dan suci.  Tujuan pelaksanaan samskara itu sangat mulia, yaitu mencapai tujuan hidup yang disebut Catur Purusa Artha yang terdiri dari Dharma, Artha, Kama, dan Moksa atau dengan istilah lain “moksartham jagadhita ya ca iti dharma” yaitu tercapainya kesejahteraan hidup serta kebahagiaan yang hakiki dan sejati.
Pelaksanaan samskara bukan merupakan kebiasaan yang melembaga dalam masyarakat, melainkan pelaksanaan samskara itu adalah perintah agama yang dinyatakan di dalam kitab Weda Smerti II.26 yang berbunyi :
Waidikah karmabhih punyair, nisekadir durijanmanam, karyah sarira samskarah, pawanah pretyaceha ca”.
Artinya :
Sesuai dengan ketentuan-ketentuan pustaka suci Weda, para dwijati hendaknya melaksanakan upacara-upacara suci pada saat terjadinya pembuahan dalam rahim ibu dan upacara-upacara kemanusiaan lainnya, sehingga dapat menyucikan diri dari segala dosa dalam hidup ini maupun setelah meninggal.

PEMBAGIAN SAMSKARA
Pada kitab Grhya Sutra disebutkan bahwa samskara berfluktuasi antara 12 sampai 18 jumlahnya, lalu lama kelamaan menjadi 16 bagian. Dari sekian banyak pelaksanaan samskara tersebut, yang paling umum dilakukan oleh masyarakat Hindu antara lain sebagai berikut :
1.   Wiwaha Samskara
2. Garbhadhana Samskara
3. Pumsawana Samskara
4. Jatakarma Samskara
5. Namadheya Samskara
6. Nishkramana Samskara
7.  Annaprasana Samskara
8. Caudakrama Samskara
9. Upanayana Samskara
10. Sawitri Samskara
Adapun penjelasan singkat dari masing-masing samskara tersebut dapat diuraikan seperti berikut ini :
1. Wiwaha Samskara merupakan upacara perkawinan untuk memasuki tingkat hidup grihastha asrama, dengan tujuan untuk melanjutkan garis keturunan dan memenuhi kewajiban secara sempurna. Pelaksanaan Wiwaha Samskara harus bersaksi kepada Sang Hyang Widhi Wasa melalui agni homa atau semacam widhi wedana sehingga kedua mempelai dianggap bersih jasmani dan rohaninya, selanjutnya dapat hidup sah sebagai suami istri baik secara duniawi maupun spiritual.
2. Garbhadhana Samskara merupakan upacara persembahyangan pembenihan pertama sebagai sakramen atau pembersihan terhadap kama-jaya dan kama-ratih yaitu benih laki-laki yang disebut sukla (sperma) dan benih mempelai wanita yang disebut swanita (ovum) secara rohaniah, dengan harapan apabila terjadi pembuahan dan menjadi janin maka roh yang akan menjelma adalah roh yang baik dan suci.
3. Pumsawana Samskara merupakan upacara untuk memohon putra, yang biasanya dilakukan setelah umur kandungan mencapai tiga bulan. Upacara ini dilakukan mengingat kelahiran seorang putra mempunyai arti tersendiri dalam keluarga Hindu yaitu untuk membebaskan orang tuanya dari lembah kesengsaraan. Pada keluarga Hindu di Bali terdapat pula upacara semacam ini yang disebut dengan upacara “Magedong-gedongan” tetapi bedanya, upacara magedong-gedongan ini dilakukan setelah umur kandungan mencapai enam bulan atau lebih. Upacara ini bertujuan sebagai pembersihan dan pemeliharaan atas keselamatan ibu dan kandungannya, disertai harapan agar anak yang akan lahir kelak menjadi orang yang berguna bagi masyarakat dan dapat memberi harapan orangtuanya.
4. Jatakarma Samskara merupakan upacara kelahiran bayi dengan maksud menyampaikan rasa syukur (angayu bagia) kepada Sang Hyang Widhi Wasa, dan memohon anugerah-Nya agar bayi itu selalu berada dalam keadaan selamat. Beberapa hari setelah bayi lahir, juga diadakan acara lepas aon atau puput puser yang bermakna membersihkan jasmani si bayi.
5. Namadheya Samskara merupakan upacara pemberian nama bayi yang dilakukan pada hari ke sepuluh atau hari ke dua belas setelah bayi lahir. Pemberian nama menurut kepercayaan Hindu harus benar-benar mempunyai makna, misalnya diberi nama yang yang mengandung arti kesucian, kekuatan, kemakmuran, kepuasan, dan lain-lain dengan harapan agar kelak anak itu memiliki sifat dan karma sesuai dengan makna namanya.
6.Nishkramana Samskara merupakan upacara yang dilakukan setelah anak itu mencapai umur 105 hari (3 bulan bali/kalender Hindu) sebagai simbol penjemputan atma/jiwa bayi agar benar-benar memberi hidup yang membahagiakan. Saat itu merupakan hari pertama bayi untuk berhubungan dengan kekuatan-kekuatan alam atau kontak dengan dunia luar.
7. Annaprasana Samskara merupakan upacara pemberian makanan yang pertama kali yaitu pada waktu umur anak mencapai 7 bulan (6 bulan Bali) di mana anak yang diupacarai ditanakan nasi lembek berisi telur ayam, kemudian di pagi-pagi buta anak itu diturunkan ke tanah (menginjak tanah).
8. Caudakarma Samskara merupakan upacara potong rambut yang pertama, biasanya dilakukan pada waktu anak berumur antara satu sampai tiga tahun. Rambut di bagian ubun-ubun tiak dipotong (disisakan sebagai jambot). Namun dewasa ini kebiasaan seperti ini sudah pudar dan anak-anak dicukur biasa saja, ubun-ubun masih tetap terlindung. Di dalam kitab Manu Smerti dikatakan bahwa upacara ini dimaksudkan untuk memperoleh kebajikan spiritual bagi anak itu.
9. Upanayana Samskara merupakan suatu upacara untuk mulai bersekolah dalam batas umur panjang awal 5 tahun dan paling lambat 12 tahun. Masa belajar ini disebut dengan Brahmacari asrama. Upacara yang sejenis dengan upanayana samskara yang biasa dilakukan oleh orang-orang Bali dan Jawa yang beragama Hindu adalah upacara “Pawintenan” yang berfungsi sebagai pembersihan diri dalam rangka mempelajari ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan keagamaan. Sedangkan upacara pawintenan yang lebih besar (untuk menjadi pendeta) disebut “Diksa Widhi”.
10. Sawitri Samskara merupakan upacara pemberian ilmu oleh seorang guru kepada murid-muridnya sebagai awal dimulainya pemberian pelajaran. Upacara ini merupakan bagian dari Brahmacari asrama.
Itulah kesepuluh bagian samskara yang biasanya paling sering dilaksanakan oleh umat Hindu. Pelaksanaan samskara tersebut akan disesuaikan dengan kondisi keluarga dan daerah tempat tinggal. Selain ksepeluh macam samskara di atas juga terdapat beberapa jenis samskara lainnya seperti :
1.   Simantonnayana secara harfiah berarti berpisah dengan rambut). Upacara ini  dilakukan pada bulan keempat atau kelima kehamilan pertama seorang wanita. Simantonnayana dilakukan untuk melindungi ibu pada masa kritis kehamilan. Samskara ini dilakukan untuk memohon perlindungan bagi ibu dan bayi yang belum lahir serta mengusir setan dan roh yang mungkin ingin membahayakan ibu dan bayinya, serta untuk memastikan kesehatan keduanya dalam keadaan baik, keberhasilan dan kemakmuran bagi anak yang belum lahir.
2. Karnavedha  yang secara harfiah berarti  menusuk telinga. Pada masyarakat tradisional biasanya hal ini dilakukan dengan menggunakan duri tertentu. Setelah itu mentega dioleskan pada luka. Hal ini berlaku untuk baik utnuk  anak laki-laki maupun perempuan.
3. Vidyarambhana atau pendidikan awal. Vidya adalah pengetahuan dan arambhana ini dimulai. Hal ini biasanya dilakukan sekitar usia empat atau lima tahun.
4. Praishartha atau Vedarambha adalah proses pembelajaran Weda dan Upanishad. Pada awal setiap periode akademik ada upacara yang disebut Upakarma dan pada akhir setiap periode akademik ada lagi upacara yang disebut Upasarjanam. Tetapi samskara ini biasanya jarang ditemui pada masyarakat Hindu pada umumnya, dan lebih sering diterapkan pada keluarga brahmana.
5. Keshanta secara harfiah berarti menyingkirkan rambut adalah upacara mencukur rambut yang pertama. Upacara ini bagi anak di usianya yang ke 16 tahun.


6. Ritusuddhi adalah upacara yang berhubungan dengan proses menstruasi pertama pada seorang gadis.
7.  Samavartana berarti wisuda adalah upacara yang berhubungan dengan akhir pendidikan formal.  Upacara ini menandai akhir dari masa menuntut ilmu. Hal ini juga menandai akhir dari masa brahmacari.
8. Antyesthi yang berarti pemakaman.  Samskara akhir adalah antyesthi atau upacara terakhir. Samskara ini tidak disebutkan dalam daftar samskaras di sebagian besar Grhya Sutra dan teks-teks lain yang berbicara tentang samskara. Alasan untuk meninggalkan ritual ini keluar adalah bahwa hal ini tidak dianggap sebagai suatu ritual yang murni dan menguntungkan, dan  tidak boleh disebutkan bersama dengan samskara yang lain.



Upanayana Samskara Gerbang Pertama Belajar Veda

1. Pengertian
Menurut kamus Agama Hindu, Upanayana : Upacara penyucian murid yang baru belajar Weda yang dilakukan oleh seorang Guru. Dalam Kitab Sathapatha Brahmana dijelaskan : Bahwa seorang Acharya meletakkan telapak tangannya di ubun-ubun anak itu sebagai simbol persatuan dan pencurahan seluruh personalitenya kepada murid-muridnya dan setelah itu barulah diajarkan mantra sawitri untuk menjadikannya sebagai seorang brahmana.(konsep-konsep śraddhā agama Hindu).
Upanayana artinya mendekatkan, saat itu si anak didekatkan dengan gurunya yaitu Guru spiritual. Sang Guru mengenakannya benang suci yang disebut Yajnopawita dan mentasbihkannya dengan pemberian mantra Gayatri dan sebuah tongkat. Ini merupakan permulaan dari Brahmacarya yaitu kehidupan membujang dan mulai kehidupan belajar. (Intisari ajaran Hindu, Paramita Surabaya, 2003).
Upanayana yaitu upacara ini siap dimana seorang anak untuk pertamakalinya diterima untuk masuk berguru pada seorang Guru spiritual. Umur anak itu dihitung sejak dalam bentuk pembuah pertama, artinya sembilan bulan sebelum lahir.(Manawadharmasastra II.36). Swadyaya yaitu belajar sendiri tentang Weda, mempelajari Weda. Wrata : brata, yaitu dengan mengendalikan hawa nafsu, berjanji untuk sesuatu yang melanggar ketentuan misalnya Sawitri wrata (brata sawitri), tidak makan daging, tidak tidur dan lain-lain. Melakukan Upacara Sawitri, upacara pengucapan mantra sawitri sebagai simbol masuk sekolah pertama. Mantra sawitri adalah mantra Gayatri. Berdasarkan ayat ini ditetapkan batas maksimum seseorang untuk memulai mengucapkan mantra sawitri (belajar) Yang kalau tidak dilakukan dalam batas umur itu mereka itu di ancam kapatita (dijatuhkan dari golongannya) dan menjadi wratya (orang barbar) yaitu golongan diluar warna yang empat dan dikucilkan dari kearyaannya.(Manawadharmasastra II.28). Seorang yang ingin ahli dalam Weda, menurut beberapa kritikus kurang tepat untuk dikaitkan bagi anak yang bersangkutan tetapi harapan orang tua si anak menginginkan anaknya ahli dalam bidangnya, ayahnya harus telah menyekolahkannya (mengupanayanakannya) pada umur yang lebih muda, seperti untuk golongan brahmana dimulai pada umur 4(empat) tahun 5 (lima) bulan. (Manawadharmasastra II.38).
Seorang Brahmana yang di-inisiasi yaitu seorang Brahmacari, menurut ayat ini kehidupannya masih tergantung pada orang lain dan untuk menunjang kehidupan berguru dan tinggal di asrama itu, para Brahmacari diwajibkan untuk minta-minta sedekahan dari keluarganya. Waktu minta sedekah itu, tiap golongan memiliki cara sebutan untuk dipakai kepada tuan rumah yang diminta, yaitu Nyonya rumah dengan sebutan Bhawati dan sebagai kode tiap warna (golongan) mempunyai ketentuan untuk memakai istilah itu dengan meletakkan kata Bhawati paling depan dari nama, diantara nama dengan harapan permohonan.(Manawa dharmasastra II. 49-50).
Berdasarkan ayat ini pada permulaan dan pada penutupan pelajaran,seorang murid harus memberi penghormatan kepada seorang Guru dengan cara menyentuh kedua kaki guru itu sebagai tanda penyerahan diri sepenuhnnya dan kebaktian yang tulus. Menurut sistem weda, karena ajaran yang diterima pada waktu itu bersifat oral dan cara menulis belum dikenal maka setiap ajaran yang diterima harus didengar dengan baik dan untuk mendengar ajaran suci (Weda) diharapkan agar mencakupkan kedua belah tangan.
Karena itu orang-orang yang bijaksana harus berjuang dan berusaha keras menguasai seluruh indrianya yang gejolaknya diumpamakan seperti kuda yang menerjang menyusuri benda-benda lahiriah yang dapat menyesatkan. Pengendalian ini dilukiskan seperti perumpamaan seorang kusir yang mengendalikan kuda penghela kereta (badannya).(Manawadharmasastra II.88). Ada sebelas macam alat-alat yang harus dikendalikan, yaitu pikiran, alat perasa misalnya telinga, mata, hidung, kulit, lidah. Sedangkan alat penggeraknya adalah pelepasan, kelamin, tangan, kaki dan mulut. Adapun indria yang sangat terlambat oleh benda-benda jasmani yaitu bila panca indria ini sangat gemar akan dipuaskan oleh benda-benda jasmani yang dapat memberi kesenangan lahiriah. Pengendalian indria itu tidak hanya tergantung dan dapat berhasil melalui belajar Weda atau beryajna, melakukan niyama ataupun tapa. Niyamabrata yaitu sepuluh macam tuntutan sikap mental yang harus dipenuhi yaitu dana (sedekahan), ijya (bersembahyang), tapa(menggembleng diri dengan bersamadhi), dhyana (merenung dengan penuh pemusatan pikiran atau sesuatu tujuan yang baik), swadyaya (mempelajari dan menghayati ajaran-ajara weda dan mengenalkannya), upasthanigraha (mengendalikan nafsu sex), Brata (mengendalikan panca indria dan taat pada sumpah), upavasa (berpuasa), mona atau mauna (mengendalikan kata-kata dengan tidak berkata-kata yang tidak perlu) dan snana (membersihkan badan, misalnya mandi). Samdhyam yaitu bersembahyang, menyatukan diri atau menghubungkan diri, Japa : mengucapkan mantra-mantra. Dalam bercakap dan menjawab pertanyaan seorang guru, seorang siswa tidak boleh berbuat demikian yaitu dengan sambil lalu, misalnya dengan sambil lalu, misalnya sambil berbaring, duduk ditempat tidur, dan pergi membuang muka. Untuk mencapai kebajikan dan kebahagiaan seseorang tidak boleh menetap dalam satu tempat, melainkan harus mencari pengalaman-pengalaman dari guru-guru yang lebih dari satu perguruan ke perguruan lainnya.
2. Tempat, Waktu  Penyelenggaraan
a. Waktu Penyelenggaraan
Waktu penyelenggaraan upanayana yang umum dipakai adalah menjelang upacara “penyineban” atau hari penutupan piodalan yang disebut dengan “nyurud hayu”. Nyurud maksudnya adalah memohon, dan Hayu artinya keselamatan, yang dilaksanakan sesaat sebelum Upacara piodalan itu akan diakhiri atau ditutup.
b. Dewasa
Dewasa adalah suatu hari yang baik untuk melaksanakan suatu upacara agama. Dewasa untuk upacara upanayana yang umum dipakai adalah menjelang upacara penyineban, itu berarti mengikuti dewasa piodalan dari tempat suci atau pura tempatnya akan melaksanakan upanayana.
Selain Dewasa itu, juga banyak yang melakukan pada hari purnama. Dengan tujuan supaya pembersihan dan penyucian terhadap dirinya benar-benar bersih dna terang seperti sinarnya bulan saat bulan purnama. Selain itu juga ada yang menyelenggarakan upacara upanayana pada hari raya saraswati, sebagai hari yang baik untuk turnnya ilmu pengetahuan suci.
c. Tempat Upacara
Secara umum tempat penyelenggaraan upacara upanayana itu adalah pada tempat suci yaitu Pura. Upanayana dapat diselenggarakan diberbagai Pura, sesuai dengan keyakinan dari yang akan di upanayana, misalnya pada pura ditempat mana ia mengabdikan dirinya, seperti pura yang ada di sekolah-sekolah, kantor-kantor, kahyangan tiga, dang kahyangan, sad kahyangan dan kahyangan jagad.


d. Pemimpin Upacara
Pemimpin upacar a upanayana dilaksanakan oleh pendeta atau sulinggih yang sudah ma-dwijati.
e. Calon yang di Upanayana
Upanayana biasanya dilaksanakan oleh calon-calon siswa pendidikan guru agama Hindu dan calon mahasiswa calon perguruan tinggi seperti Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Gde Pudja Mataram (STAHN), akademi pendidikan guru agama Hindu, sekolah tinggi keguruan ilmu pendidikan agama Hindu secara massal, setelah mereka melaksanakan masa prabhakti siswa atau mahasiswa melalui latihan-latihan mental, lalu dilanjutkan dengan upacara sisya upanayana, untuk kemudian dapat mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu keagamaan yang didalamnya diajarkan melalui pengenalan dan pendalaman tentang akasara-aksara suci.
f. Jalannya Upacara
Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai melalui upacara upanayana ini, yaitu pembersihan dan penyucian diri secara lahir dan batin, maka secara umum jalannya upacara upanayana dilaksanakan sebagai berikut :
Upacara ini diawali dengan melaksanakan pembersihan lahir seperti menyapu, menyingkirkan alat-alat yang tidak perlu, misalnya ada sisa upakara-upakara yang masih tertinggal dan membenarkan letak-letak sarana yang ada pada tempat-tempat suci dilingkungan pura, tempat pelaksanaan upacara upanayana. Setelah itu dilanjutkan dengan memasang busana perlengkapan untuk palinggih yang akan dipakai tempat mensethanakan Hyang Widhi Wasa atau manifestasinya yang akan dihadirkan untuk dipuja. Kemudian dilanjutkan dengan upacara penyucian terhadap palinggih tadi dengan menghaturkan upakara-upakara berbentuk banten.
Setelah selesai upacara pembersihan dan penyucian ini, dilanjutkan dengan mensthanakan Hyang Widhi Wasa atau manifestasinya yang dihadirkan, misalnya kalau upacara upanayana itu dilaksanakan di pura puseh, maka manifestasi Hyang Widhi Wasa yang berfungsi sebagai Dewa Brahma disthanakan dulu di palinggih meru tumpang tuju atau pada palinggih yang diperuntukkan beliau. Kalau dipura desa atau segara, manifestasi Hyang Widhi Wasa yang berfungsi sebagai Dewa wisnu disthanakan pada palinggih gedong dan atau kalau dilaksanakan di pura dalem, maka manifestasi Hyang Widhi Wasa yang berfungsi sebagai Dewa siwa disthanakan dipalinggih gedong. Apabila upanayana dilaksanakan dipamerajan maka Hyang Widhi Wasa atau manifestasinya yang berfungsi sebagai Batara Hyang Guru disthanakan dulu di palinggih kamulan.
Selesai mensthanakan, barulah dilanjutkan dengan mempersembahkan upakara-upakaranya, mulai dari sanggah tutuan atau sanggah surya kehadapan Hyang Widhi Wasa dalam manifesatasinya sebagai Siwa Raditya(dewanya matahari), dengan tujuan mohon agar beliau menjadikan saksi dalam penyelenggaraan upacara upanayana, sehingga upacara berjalan dengan tertib, lancar dan benar, sesuai dengan mantram pemujaannya sebagai berikut :
“Om adityasya paramjoti
Rakta teja namo’stute
Swetapangkaja madyasthe
Bhaskaraya namo namah
Om hrang hring sah parama siwadityaya namo namah swaha”
“Ya Tuhan selaku Hyang surya yang bersinar merah semarak yang ku puja serta putih bersih laksana tunjung ditengah-tengahnya, Surya yang maha Suci, Ya Tuhan selaku siwa Raditya, selaku awal, tengah dan akhir sembahku adalah untukMu.
Berikutnya dilanjutkan dengan upacara upanayana, yang diawali dengan melukat yaitu pembersighan diri dari yang akan di upanayana dengan saran air kelapa muda (klungah). Kalau tingkat upacaranya kecil,mempergunakan salah satu dari lima jenis kelapa yaitu (kelapa bulan, sudamala, gading, surya dan mulung). Kalau tingkatan upacaranya madaya atau menengah mempergunakan air kelapa muda sebanyak 3(tiga) jenis, dan kalau tingkatan upanayana yang dilaksanakan utama maka mempergunakan lima jenis air kelapa muda tersebut. Air kelapa muda itu dijadikan tirta oleh pendeta melalui doa, puja dan mantranya, kemudian dipercikan dan di siramkan keanggota badan dari yang akan di upacarai upanayana.
Selesai malukat dilanjutkan dengan upacara mebyakala. Upacara ini bertujuan untuk memberikan pengorbanan suci kepada para butha kala, agar tidak mengganggu jalannya upacara upanayana yang akan dilaksanakan serta segera meninggalkan tempat upacara tersebut, untuk kembali ketempatnya yang semula. Upacara ini dipimpin oleh pendeta atau yang memimpin upacaranya dengan doa, puja dan mantranya, kemudian dilanjutkan dengan “matepung tawar” serta diahiri dengan “natab” dan “ngayab” byakala dengan arah tangan kebelakang atau samping, yang maksudnya mengantarkan dan mempersilahkan para bhuta kala itu kembali ketempat asalnya. Selesai mebyakala dilanjutkan dengan upacara “maprayascita”, yang dipergunakan sebagai penyucian yaitu melengkapi upakara byakala. Kesucian yang diperoleh adalah dengan memohon kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh para dewa, khususnya dewa nawa sanga, yang mana hal tersebut dilukiskan dengan lis sanjata. Upacara maprayascita ini memakai lis sanjata untuk memercikkan tirta sebagai sarana penyucian. Setelah selesai maprayascita, dilanjutkan dengan upacara “masakapan”, yaitu perkawinan dengan profesinya yang akan ditekuni dalam kehidupan selanjutnya. Mapadudusan mempergunakan sarana Api. Padudusan berasal dari kata “dus”, yang artinya mandi atau menyucikan diri dan dudus(bahasa bali) berarti menyucikan dengan asapnya api, yang di antarkan dengan doa, puja dan mantra pendeta. Api adalah sarana upakara yang berfungsi antara lain sebagai alat pembersih dan penyucian. Hal ini disebutkan dalam pustaka suci Isa Upanisad (bagian Weda Sruti), tentang ke Maha Kuasaan Tuhan/Hyang Widhi Wasa sebagai pengatur makhluk hidup, yang dinyatakan sebagai berikut:
“Agne naya supatharayo asman
Wiswani dena wayunani widwan
Yuyudhy asmay yuhuranam eno
Bhuyistham to namo uktim widhona”
“O, Tuhan kuat laksana api, Maka Kuasa, tuntunlah kami semua segala yang hidup ke jalan yang baik, segala tingkah laku menujkku kepada-Mu yang bijaksana, jauhkan dai jalan tercela yang jatuh dari padaMu, baik penghormatan maupun kata-kata yang hamba lakukan”.
Demikian makna upacara Padudusan sebagai upacara penyucian mempergunakan asapnya api, yang diantarkan oleh pendeta dengan kekuatan batinnya. Selesai upacara padudusan, dilanjutkan dengan upacara “marajah”, yang bertujuan untuk mencapai tingkatan yang diseburt dalam bahasa inggris “lotus”, artinya bunga teratai atau sunyata. Melalui upacara upanayana, merupakan salah satu jalan bagi umat Hindu untuk menyucikan dirinya secara lahir dan batin dalam hal mempelajari sastra, aksara suci seperti simbul bunga lotus atau teratai, yang hidupnya bergumul dengan air dan Lumpur, namun teratai itu tidak terpengaruh oleh kotornya air dan Lumpur tempatnya hidup.
Untuk menjaga kesuciannya itu, hendaknya diperoleh dengan daya dan upaya yang suci pula, sehingga dapat dipergunakan kea rah yang suci juga. Alat-alat yang dipergunakan kea rah yang suci juga. Alat-alat yang dipergunakan untuk Merajah atau menulisi beberapa organ tubuh dari yang di upanayana, mempergunakan sarana berupa sirih dan madu, yang dirajahkan pada :
- diantara kedua kening dengan aksara suci Yang
- di dada dengan aksara suci Dang
- di tunggir dengan aksara Bang
- di telapak tangan dengan aksara suci Tang
- di tengah lidah dengan aksara suci Ing
- di ujung lidah dengan aksara suci Ong
Selesai merajah atau menuliskan aksara-aksara suci itu, pendeta menulisi pinang dengan aksara suci Ang, Ung, Mang dan pada lekesan siih dengan aksara suci Ya, Ra, La, Wa dan setelah selesai di tulisi lalu dimantrai, lalu diberikan kepada yang di upanayana untuk dimakan atau ditelan, yang mengandung simbolis, bahwa aksara suci ilmu pengetahuan untuk peningkatan dirinya menuju pada kesucian itu, sudah dimasukkan kedalam dirinya untuk dipelihara dan menjiwainya berupa kekuatan batin.
Selanjutnya setelah rangkaian upacara merajah itu selesai, dilanjutkan kemudian dengan upacara mejaya-jaya, yaitu upacara yang bertujuan menyatakan rasa syukur kehadapan Hyang Widhi Wasa atau manifestasi yang telah dihadirkan, karena telah dapat dilaksanakan dengan baik semua rangkaian upacara pembersihan dan penyucian itu.
Selesai mejaya-jaya, dilanjutkan dengan memasang “siroswita” di kepalal, yaitu dengan secara melingkar pada dahinya. Siroswita adalah sarana upakara yang dibuat dari 4(empat) lembar daun alang-alang (ambengan) yang ujung-ujungnya diikatkan menjadi satu , diisi “kalpika”. Kalpika terbuat dari sehelai daun pucuk (kembang sepatu) berisi tiga macam bunga yang berwarna merah, putih, dan hitam. Ketiga warna tersebut merupakan simbollis “pengurip-urip Trimurti”. Semua pemasangan ini dipimpin oleh pendeta yang telah melaksanakan penyucian diri dengan diikuti oleh doa, puja dan mantranya. Pemasangan siroswita merupakan anugrah dari Hyang Widhi Wasa, telah mensucikan yang di upanayana itu secara lahir dan batin. Upacara selanjutnya adalah Sembahyang. Persembahyangan dalam upacara Upanayana ini mempergunakan sarana kwangen dengan sasari uang kepeng 11 buah, yang ditujukan kehadapan 9 Dewa sebagai wujud Dewi saraswati (penguasa ilmu pengetahuan) yang menguasai 9 penjuru mata angin (nawa dewata). Upacara persembahyangan, bertujuan untuk mendekatkan diri dengan memohon agar Hyang Widhi Wasa yang dipuja selalu dekat dan memberikan tuntunannya kepada yang di upanayana. Oleh sebab itulah maka dalam pelaksanaan sembahyang, patut dilakukan dengan cakupan tangan dari ke sepuluh jari secara rapat-rapat, sebagai simbolis pemusatan antara Panca Budhindria dan Panca Karmendria, dengan memusatkan pikiran memuja Beliau yang dihadirkan, untuk dipuja secara lahir dan batin.
Setelah Upacara persembahyangan berakhir, dilanjutkan dengan upacara “matirta”, yang bertujuan untuk memohon air suci/tirta kehadapan Hyang Widhi Wasa dan manifestasinya. Tirta adalah air hening yang telah disucikan secara lahir dan batin. Secara lahir dalam proses pembuatannya melalui “Ngukup”, yaitu dengan membakar beberapa sarana pengukupan, yang asapnya diarahkan kedalam periuk tempat tirta itu nantinya , seperti berbagai wangi-wangian, asep, menyan dan lain sejenisnya, sehingga tirta menjadi harum dan sedap, setelah itu secara batin dimohonkan oleh pendeta dengan puja dan mantramnya, kehadapan Hyang Widhi Wasa supaya berkekuatan. Tirta dipercikkan ke atas ubun-ubun sebanyak tiga kali, adalah untuk mensucikan pikiran, perkataan dan perbuatan. Berikutnya dipercikkan 3 kali lagi adalah untuk diminum, agar ditempati oleh Sang Hyang Dharma, dapat membuat ketenangan dunia dan bertutur kata yang benar. Terakhir dipercikkan 3 kali lagi untuk mencuci muka, bertujuan agar menjadi suci, mendapatkan ketenangan sehingga dapat menyelesaikan semua pekerjaan dengan baik dan dapat menyeramakkan dharma. Upacara metirta ini diakhiri dengan “mebija”. Bija adalah biji yang dimaksudkan sabagai bibit anugrah Hyang Widhi Wasa, yang dibuat dari beras bercampur air cendana, dimohon kehadapan Hyang Widhi Wasa, kemudian diberikan kepada yang di upanayana untuk dilekatkan diantara kedua keningnya secara lahir dan dimakan atau ditelan secara batin.
Rangkaian upacara selanjutnya setelah natab, adalah “mapadamel”, yaitu dengan mohon sarana upakara berupa “dodol maduparka”. Untuk dimakan atau ditelan. Dodol maduparka merupakan sarana yang utama dalam upanayana itu yang bentuknya seperti “padma” yaitu simbolis dari sthana Sang Hyang Widhi Aji Saraswati dalam diri manusia. Dengan masuknya dodol maduparka ke dalam tubuh dari yang Upanayana itu, berarti Sang Hyang Aji Saraswati sudah berada di dalam diri yang di upanayana. Dodol maduparka terbuat dari 9 macam bahan, yang merupakan bahan hidangan dari Dewata Nawa sanga seperti :
1. Empehan, adalah simbol serta hidangan terhadap Dewa iswara
2. Air tebu atau Gula tebu, adalah simbol serta hidangan terhadap Dewa Brahma
3. Punti sasih atau pisang emas gading adalah simbol serta hidangan dari Dewa Mahadewa
4. Madu adalah simbol serta hidangan terhadap Dewa Wisnu
5. Baem warak atau Cula badak dan air adalah simbol serta hidangan terhadap Dewa Maheswara
6. Uyah Uku atau Garam adalah simbol serta hidangan terhadap Dewa Rudra
7. Berem atau air Tape Injin adalah simbol serta hidangan terhadap Dewa Sankara
8. Empol atau Kuwud atau buah ental muda adalah simbol serta hidangan terhadap Dewa Sambbhu
9. Daun Abaas adalah simbol serta hidangan terhadap Dewa Siwa.
Setelah semua rangkaian upacara upanayana selesai dilaksanakan, maka untuk menenangkan dan menghayati semua makna dan tujuan dari pelaksanaan semua jenis upacara-upacara tersebut, untuk nantinya dapat dilanjutkan dengan pelaksanaan upacara “brata”, yaitu tidak makan, minum dan tidur berturut-turut dari matahari terbit hingga terbenam. Brata tersebut bermakna untuk mengendalikan diri terhadap pikiran, perkataan dan perbuatan, agar mengarah pada hal-hal yang bersifat suci dan batin. Melalui pelaksanaan brata, tuntunan-tuntunan yang telah didapatkan dapat lebih ditingkatkan untuk menghayati dan mengamalkan swadharmanya. Dalam tuntunan pustaka suci Sarasamuccaya dalam sloka 306 yang berbunyi sebagai berikut:
“Kunang laksana sang sadhu, tan agirang yan inalem, tan alara yan ininda, tan kataman krodha, pis aningun ujara kenang parusa wacana, langgeng dhirahning manah nira
“Adapun prilaku orang yang sadhu, tidak gembira jika dipuji, jika dicela tidak sedih pun tidak marah, tidak akan mengucapkan kata-kata kasar, sebaiknya selalu tetap teguh pikirannya”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar