Tribun Bali/AA Putu Santiasa Putra
Upacara Karya Anta Sapa lan Pegat Sot Puncak di Kesiman, Denpasar, Bali, Senin (24/8/2015).
Laporan Wartawan Tribun Bali, AA Putu Santiasa Putra
TRIBUN-BALI.com, DENPASAR - Satu per satu warga Paiketan Arya Wang Bang Pinatih memasuki piadnyan yang dibangun di atas tanah lapang seberang lapangan tembak Kesiman, Denpasar, Bali.
Mereka berdesakan untuk memasuki areal piadnyan, sementara parapecalang sibuk membatasi massa yang membeludak untuk masuk kejeroan tengah dalam puncak karya Anta Sapa lan Pegat Sot Maha Warga Arya Wang Bang Pinatih Provinsi Bali, Senin (24/8/2015).
Menurut Ketua Umum Drs I Nyoman Sukada, upacara Anta Sapaadalah istilah yang berasal dari bahasa Sansekerta dari kata Antaberarti akhir dan Sapa berarti kutukan.
Anta Sapa berarti mengakhiri kutukan.
Sementara Pegat Sot, Pegat berarti putus, selesai, dan Sot berarti sumpah, nazar, kaul atau kutukan.
Kata pegat sot berarti membayar kaul, melepas sumpah.
Upacara Anta Sapa dan Pegat Sot berarti suatu upacara yang dilakukan untuk memutuskan, menghilangkan, menyelesaikan sumpah atau kutukan yang pernah dilakukan oleh leluhur Arya Wang Bang Pinatih terdahulu yang tiada lain adalah Raja Kertalangu.
“Ini merupakan upacara yang tidak akan pernah diadakan kembali sejak 400 tahun yang lalu, saat sumpah tersebut terjadi. Jika pegat sotmungkin bisa dilaksanakan kembali, tapi kalau Anta Sapa tidak mungkin. Ini upacara pertama dan terakhir,”katanya.
Upacara yang digelar pukul 09.00 Wita tersebut, dihadiri seluruh keturunan Arya Wang Bang Pinatih se-Provinsi Bali.
Masing-masing warga membawa sesajen yang dihaturkan dalam persembahyangan tersebut.
Tampak pula I Ketut Sudikerta Wakil Gubernur Bali sekaligus sebagai Ketua Harian Paiketan Arya Wang Bang Pinatih.
Dalam kesempatan tersebut Sudikerta menceritakan Raja Badung di Puri Kertalangu bernama Kyai Ang Lurah Agung Mantra tidak percaya akan kesaktian mertuanya, yang bernama Dukuh Paang yang mengaku dapat menjalan moksa.
Kemudian sang Raja bersumpah jika moksa dapat dilaksanakan oleh mertuanya, maka dirinya akan selesai menjadi raja di Badung.
Alhasil Dukuh Paang pun mampu melaksanakan moksa, bahkan mengutuk Kyai Anglurah dirusak oleh kerumunan semut.
“Sebab raja yang hebat dan memiliki banyak rakyat tersebut tidak percaya mertuanya dapat moksa, sementara dirinya yang sakti saja tidak bisa. Maka terjadilah sumpah tersebut, dan untuk memutuskannya dilaksanakan upacara ini di atas tanah yang diduga adalah kerajaan Kertalangu tersebut,” ujarnya.
Sekretaris Umum Drs I Wayan Sudiarta MM menjelaskan, dalam pelaksanaan upacara Anta Sapa dalam proses pembuatan tirtanya menggunakan sarana permata atau cincin yang bertuah.
Sementara pelaksanaan upacara Pegat Sot proses pembuatan tirtanya menggunakan janur dari pohon kelapa gading, atau sudamala yang ditulisi puja pegat sot.
Bahkan akan dibacakan isi sumpah tersebut oleh pedanda yang muput karya.
Untuk mendokumentasikan upacara besar ini dibuatkanlah prasasti mini yang memuat karya tersebut, agar tidak terlupakan begitu saja.
“Warga yang datang sungguh membeludak. Kemarin saat melasti kita perkirakan 2.500 orang, namun ternyata yang datang lebih dari itu. Inilah bentuk antusias warga Arya Wang Bang Pinatih,” ujarnya.
Karya ini dipuput oleh 7 sulinggih yakni Ida Pedanda Wayahan Bun dari Griya Sanur Pejeng Gianyar, Ida Pedanda Gede Putra Keniten dari Geria Dalem Sibang, Badung, Ida Rsi Agung Wayabia Sogatha Karang dari Geria Buda Buduk Badung, Ida Pedanda Gede Putra Bajing dari Geria Tegaljinga Denpasar, Ida Pedanda Gede Putra Tembau, dari Geria Aan Klungkung, Ida Pedanda Gede Putra Telaga dari Geria Telaga Banjarangkan Klungkung, dan Ida Pedanda Gede Telaga dari Geria Sanur.
Upacara juga diiringi oleh gong tegak, topeng sidakarya, Semar Pegulingan, tari Rejang, tari Baris Gede, Wayang Lemah, Tari Gambuh dan sekaa Santhi. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar