loading...


Selasa, 23 Juni 2015

Charles Sobhraj, Kisah ‘Naga’ Pembunuh Bikini

Dua tahun silam, hukum menaklukkan pembunuh berantai terkenal di Asia, Charles Sobhraj. Namun apakah ini betul-betul akhir dari petualangan sang naga pembunuh tersebut?

Charles Sobhraj menyeringai penuh percaya diri ketika melewati enam petugas yang mengawalnya dari sel yang pengap menuju bangsal pengunjung di Penjara Utama Kathmandu. Mengenakan celana biru dan jaket hujan, dia tampak kusut masai. Meski demikian, Sobhraj tetap memamerkan sosoknya yang ramah. Ia mengulurkan tangan dari balik jeruji yang memisahkan “penjahat selebriti” ini dengan dunia luar.

“Saya tak beruntung ditahan di sebuah negara tempat hukum setua dengan penjara yang saya tempati,” kata lelaki Prancis yang bersahabat itu sembari tertawa dan mengeluarkan sebuah personal organizer, mencari-cari nomor telepon pengacaranya. Tiap gerakannya terus diawasi para petugas.

Hasratnya saat mengisahkan kasus yang dia alami sama besar seperti bercerita tentang kesannya selama hidup di dalam penjara yang dingin. “Mereka mengumpulkan ratusan orang dalam barak di sini. Lebih dari 2.000 orang seluruhnya. Kehidupan penjara di Nepal sama kolot dengan sistem hukumnya. Apa yang bisa saya lakukan tanpa televisi dan akses e-mail ke pengacara saya?” ucap pria itu lagi.

Medio Agustus dua tahun lampau, Charles Sobhraj--salah satu pembunuh berantai terkenal dunia--dihukum untuk pembunuhan yang ia lakukan pertama kali. Sobhraj dituntut 20 tahun di penjara Kathmandu, Nepal. Dalam wawancara rahasia yang dilakukan sebelum hukuman dijatuhkan, dia menolak tuduhan pembunuhan itu. Pria ini yakin sekali pengadilan Nepal akan membebaskannya.

Tapi, pada akhirnya, reputasi kriminal kelas dunia yang melintasi dua benua dan sisa-sisa mayat--lebih dari cukup sebagai bukti kejahatan--menggiringnya ke kursi terdakwa.

Bakar dan Cekik. Kisahnya terjadi puluhan tahun lalu, jalan hidup yang kotor bagi Sobhraj. Salah seorang psikopat karismatis abad ke-20 ini menghabiskan waktu lebih dari dua dekade mengembara ke Asia dan berteman dengan backpacker (pelancong bermodal pas-pasan), pengedar obat bius, diplomat, dan pebisnis. Lalu ia bersekutu dengan obat-obatan, perampok, dan akhirnya mencekik--atau membakar--urat kebebasannya. Pembunuh berusia 62 tahun itu pintar mengelak dari kejaran polisi di Hong Kong, Thailand, Nepal, Afganistan, Pakistan, Iran, Turki, Yunani, dan Prancis.

Sobhraj, putra saudagar tekstil dan perempuan Vietnam, memiliki masa lalu yang menggemparkan. Pria tanpa kewarganegaraan ini tumbuh di jalanan Saigon dan penjara anak-anak di Prancis. Diabaikan oleh keluarganya, Sobhraj muda--bernama asli Gurhmuk Sobhraj--banting setir dari penjahat keroco menjadi perampok bersenjata dan akhirnya pembunuh.

Menjelang pertengahan 1970-an, karier kriminal pria kelahiran 6 April 1944 ini melesat, termasuk dalam kasus pencurian permata, pencurian mobil mewah, dan penipuan batu berharga besar-besaran, yang diselingi penculikan dan penyiksaan terhadap para pecandu obat terlarang berbangsa asing.

Di Asia Selatan, Sobhraj sudah lama dikenal sebagai “naga” karena kelihaiannya menyamar dan berganti-ganti identitas seperti bunglon. Kemampuannya memengaruhi orang amat membantu dalam kasus-kasus pembunuhan tersebut. Lewat bantuan beberapa mitra perempuannya, Sobhraj didakwa meracuni para korban dan lantas berpura-pura menyembuhkan mereka sambil menyumpalkan lebih banyak racun hingga para korban berkelojotan menunggu maut.

Akhir 1970-an, Interpol dan sejumlah tim kepolisian menyeberangi Asia untuk memburu Sobhraj. Ia dihukum atas dua pembunuhan di Thailand pada 1976--yang membuat namanya populer sebagai “Bikini Killer”--tapi tak pernah tertangkap untuk kejahatan ini. Stephanie Parry, perempuan asal Prancis, dan Teresa Knowlton, wanita dari Amerika, ditemukan membusuk di gua burung walet di pantai dekat Pattaya, yang kelak termasyhur sebagai kawasan resor “lampu merah” di Thailand.

Polisi membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menghubungkan mayat itu dengan seorang pedagang batu berharga misterius di Bangkok. Kala itu, para pejabat lokal diwanti-wanti oleh sejumlah kedutaan besar di Bangkok yang mencurigai Sobhraj menggunakan dokumen palsu. Dia dituduh menyuap polisi Thailand agar bisa masuk ke negara itu. Sobhraj mengakui hal ini dan pembunuhan lainnya kepada wartawan Richard Neville pada 1977. Pengakuan itu tertuang dalam The Life and Crimes Of Charles Sobhraj, buku yang kemudian laris manis tanjung kimpul.

Pejabat Thailand lama-lama membebani Sobhraj dengan lima pembunuhan lagi. Otopsi setelah penggalian mayat mengungkapkan, salah satu mayat di Pattaya ditenggelamkan, sedangkan yang lainnya dicekik. Sobhraj sesudah itu dibebani pula dengan pembunuhan pria Turki, pacar salah seorang gadis tadi yang mati terpanggang hidup-hidup.

Dengan bukti-bukti yang dipasok beberapa kedutaan besar, pejabat Thailand pun menginvestigasi Sobhraj untuk pembunuhan dua turis Belanda--dia memakai paspor pria Belanda ketika kabur dari Nepal. Pasangan Belanda tersebut, yang menginap di apartemen Sobhraj di Bangkok Tengah, disekap bak tahanan, dicekoki, digigit, dicekik, dan dibakar sampai mati. Mereka dijumpai di selokan dekat Bangkok. Sobhraj dikaitkan juga dengan pembunuhan warga Amerika lain, Connie Jo Bronzich, dan turis Kanada, Laurent Ormond Carriere, di Kathmandu.

Keburu Kabur. Panchar Kumar Chhetri, purnawirawan polisi berusia 73 tahun, yang menyelidiki kasus pembunuhan itu pertama kali pada 1975, mengatakan, “Saya mencurigainya pada 1975, setelah dia masuk ke negeri ini dengan paspor milik lelaki yang ia bunuh di Thailand. Sayangnya, polisi membuat kesalahan besar. Kami meminta Sobhraj diwawancarai setelah bukti terkumpul. Beberapa jam kemudian, sejumlah polisi menggerebek kamar hotelnya, tapi ia telah kabur.”

Sobhraj boleh lari ke mana pun, tapi dia tidak bisa bersembunyi. Pada 1976, ia meracuni sekelompok mahasiswa Prancis di Vikram Hotel di Delhi. Kali ini Sobhraj melakukan kesalahan. Ia keliru memperhitungkan dosis yang tepat untuk membungkam para mahasiswa itu. Beberapa korban yang sadar telah diracuni menubruk Sobhraj hingga terjungkal ke tanah dan menahannya sampai polisi India mencokok dia.

Tak ada jalan keluar. Sobhraj digelandang ke pengadilan Delhi setahun kemudian. Thailand menerbitkan “garansi” pembunuhan untuknya. Pada saat yang sama, pejabat berwenang Nepal ingin mewawancarainya mengenai pembunuhan dua backpacker (dia tidak dihukum untuk itu sampai 1986). Pemerintah Prancis sendiri, sementara itu, tidak bisa bertindak apa-apa saat Sobhraj dikucilkan beberapa tahun sebelumnya.

Pada 1977, pengadilan di Delhi menyatakan Sobhraj bersalah melakukan tindak kejahatan dengan mencekokkan racun dengan maksud merampok sehingga mengakibatkan orang lain cedera--bersalah terhadap pembunuhan tidak termasuk membunuh--dan ia menerima hukuman 12 tahun.

Sobhraj dijebloskan ke Penjara Tihar di Delhi, yang ia jalankan laksana roda perusahaan: mengendalikan bisnis di balik tembok penjara, menyuap para penjaga, dan menikmati kebebasan yang tak dapat dikecap narapidana lain. Pada 1986, hanya beberapa tahun sebelum ia dibebaskan, Sobhraj kabur dengan mencekoki penjaga dan tahanan lain, persis ketika mereka tengah merayakan ulang tahun Sobhraj yang ke-42.

Beberapa pekan berselang, Sobhraj membiarkan dirinya tertangkap di Goa. Hal itu ia lakukan untuk menghindar dari proses ekstradisi ke Thailand, tempat ia akan menjalani hukuman mati. Lewat sejumlah perburuan, pelarian diri, penangkapan, dan 20 tahun di belakang meja bar di India, Sobhraj dilepaskan dan kembali ke Prancis pada 1997.

Di negara itu, Sobhraj mengatrol reputasi dan mengaut keuntungan sebagai “selebriti pembunuh”. Ia menyewa agensi yang menangani kontrak ribuan dolar untuk sesi wawancara dan pemotretan serta menandatangani kontrak senilai US$ 15 juta untuk pembuatan film mengenai kisah hidupnya. Tapi itu bukan saat pensiun yang nyaman baginya.

Akhir September dua tahun lampau, Himalayan Times melaporkan Sobhraj--mencoba menantang nasib--tampak berada di Kathmandu. Segera Deputi Superintenden Ganesh K.C. menahan Sobhraj di Royal Casino. Berkas-berkas berdebu pun disingkirkan. Kasus pembunuhan para backpacker dibuka kembali.

Ganesh menyatakan Sobhraj sendirilah yang mengungkap “dokumen” keberadaannya, yang memaksa polisi bertindak. “Saya kira Charles Sobhraj kembali ke Nepal karena ingin publisitas,” ucap Ganesh melanjutkan, “tapi ia gagal. Kebanggaan itu sendiri yang menangkapnya, yang membuat saya merasa nyaman.”

Duduk di selnya, pembunuh ini tertawa. “Saya mengunjungi Nepal untuk program penelitian dokumen mengenai kerajinan tangan buat sebuah produk perusahaan dari Prancis. Saya tak bersembunyi,” ia menjelaskan.

Sobhraj menyebutkan polisi cuma menuruti tekanan media setelah laporan kehadirannya berulang kali diberitakan. “Ketika saya menjadi berita, polisi tak pernah datang ke hotel saya dan tak pernah menanyai. Tiga hari sebelum saya meninggalkan Nepal, mereka menangkap ketika saya tengah bersantap malam di kasino. Saya tidak ditahan. Mereka tak memiliki kasus, tak ada bukti, tak ada apa pun.”

Ganesh memiliki kisah berbeda. “Kami memiliki kasus yang kuat,” dia berkilah. “Kami memiliki pernyataan polisi dari India, tanda tangan yang cocok dari 1975 dari India dan Nepal, serta dokumen perjalanan dari maskapai penerbangan. Interpol pun menyediakan bukti tambahan. Tak seorang pun yang ingin pria ini kembali. Dia pembunuh,” tuturnya.

Menggali Kubur Sendiri. Dengan track record Sobhraj itu, Ganesh masih merasa nyaman dengan tahanan berbahaya ini. “Ia selalu di bawah pengawasan pengamanan khusus karena berulang kali kabur dari Tihar di India. Ia tidak akan bisa berkelit lagi di sini. Charles Sobhraj melakukan kesalahan besar kembali ke Nepal.”

Mendengar hal ini, Sobhraj pura-pura kaget, “Pemerintah Prancis memberi tahu pejabat di Nepal tentang pembebasan saya di India pada 1997 dan minta agar tanggung jawab saya pada kasus yang lain turut dibicarakan. Saya tak pernah mendengar apa pun lagi.”

Namun Ganesh membalas lagi, “Kami menangkap orang yang benar. Saya 500 persen yakin Charles Sobhraj bersalah atas pembunuhan Connie Jo Bronzich dan Laurent Ormond Carriere pada 1975.”

Hanya tujuh tahun setelah kebebasannya dari Penjara Tihar di India, Sobhraj menemukan dirinya terpasung lagi di dalam sel. Di balik jeruji bangsal pengunjung di penjara negara yang berisik dan kumuh itu, Sobhraj menghadiri kasusnya dengan antusias. Semangatnya melebihi semangat sekumpulan personel pasukan Napoleon yang mengepung serdadu Inggris di Waterloo.

Berbicara enteng dengan aksen tak menentu, Sobhraj menghiasi kisahnya dengan nama dan fakta bermenit-menit, sambil mengutip buku yang telah ditulis tentangnya. Sobhraj agaknya tahu bagaimana memengaruhi pendengarnya.

“Polisi mengatakan saya menginap di Soaltee Hotel dan mengendarai Mercedes putih. Tak ada Mercedes putih di Kathmandu saat itu. Saya tak pernah berada di sana. Bukti mereka hanya nol besar. Mereka tak punya apa-apa,” kata Sobhraj.

Sobhraj mencoba mengenang memori lama. Pria Prancis 60-an itu sangat berhati-hati dengan ketenarannya. “Pertama, polisi tidak yakin siapa saya. Paspor saya menyatakan saya Charles Sobhraj. Saya tak akan berpikir ada orang lain di dunia ini yang mau memakai nama itu dengan sukarela,” tuturnya.

Pertemuan rutin dengan para penggemar fanatik, kata Sobhraj, membuatnya lebih bersemangat. Di luar bangsal pengunjung yang muram, penggemar paruh baya dari Amerika siap menanti khotbah hariannya.

Bahkan Ganesh sendiri terpukau dengan pria yang ia jebloskan ke penjara itu, “Dia pendiam, bersih, dan cerdas, tak seperti penjahat. Kami saling mengenal cukup baik. Selama wawancara pertama saya memintanya, ‘Sebagai seorang teman, tolong katakan, apakah Anda membunuh dua orang asing itu?’ Dia menolak semuanya, tentu saja.”

Deputi superintenden itu berkeras, “Tuan Sobhraj mencekokkan racun kepada dua korbannya, lalu menikam dan membakar mereka, sebelum membuang mayat-mayat itu di dua lokasi terpisah, satu dekat bandara Kathmandu dan lainnya dekat situs Warisan Budaya UNESCO Bakhtapur. Ini pembunuhan turis terburuk dalam sejarah Nepal.”

Ujungnya, dua tahun lalu, Sobhraj dihukum atas salah satu pembunuhan backpacker muda, Connie Jo Bronzich, pada 1975, di wisma murah di Freak Street, kawasan para hippy di Kathmandu. Sebuah tas milik perempuan berusia 29 tahun itu ditemukan di kamar Sobhraj di Soaltee Hotel, yang dikenali oleh pemilik wisma di Freak Street. Ini bukti yang sangat penting dalam kasus pembunuhan Connie. Sobhraj tak dihukum untuk pembunuhan kedua karena polisi kehilangan dosir usang berumur tiga dekade.

Basandram Bhandari, pengacara hukum Sobhraj, berencana mengajukan permohonan banding. Boleh jadi terlalu prematur untuk mengatakan karier hebat Charles Sobhraj akan segera tamat. Sementara dia tak ingin pergi ke mana pun lagi, Kedutaan Belanda di Malaysia pada 2004 menyebut-nyebut nama Sobhraj berkaitan dengan hilangnya seorang warga Belanda setahun sebelumnya.

Sobhraj tak ingin segera menanggapi investigasi untuk kasus tersebut. Sekitar November 2004, dia berusaha kabur memakai metode yang sama seperti pelarian 18 tahun sebelumnya. Menurut laporan, Sobhraj mengirim e-mail via laptop kepada seorang teman, yang kemudian menyelundupkan serbuk kimia yang direncanakan untuk mengelabui penjaga.

Usaha itu gagal. Pihak berwajib tak mau kejeblos lagi ke dalam lubang yang sama. Charles Sobhraj--yang dinyatakan melakukan atau terlibat setidaknya dalam 12 kasus pembunuhan--tetap meringkuk di selnya yang pengap dan suram, menunggu kehancuran.

http://bobbychandra.blogspot.com/2007/01/charles-sobhraj-kisah-naga-pembunuh.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar