loading...


Jumat, 15 April 2016

Gentha



1. Benda ini jika dipegang/ digunakan dengan tangan kiri (bagi Sulinggih berpaham Siwa) bernama: Gentha. Jika dipegang/ digunakan dengan tangan kanan (bagi Sulinggih berpaham Budha) bernama: Bajra.


Di masyarakat sering terjadi salah kaprah, Bajra sebagai bahasa halusnya Gentha. Benda ini tidak mempunyai “bahasa halus” dan “bahasa kasar” karena benda ini benda sakral dan suci.
2. Lontar Kusumadewa: Dalam melaksanakan tugas, pemangku patut menggunakan Gentha, karena dering suara Gentha sebagai perwujudan “bayu”, ucapan mantram sebagai perwujudan “sabda” dan konsentrasi pikiran sebagai perwujudan “idep” dari konsep “tri-guna” yaitu hakekat anugerah Ida Sanghyang Widhi Wasa kepada manusia.
Anugerah itulah yang patut disyukuri dan dipersembahkan ke hadapan-Nya ketika pemangku memuja Beliau.
3. Suara Gentha ada tiga jenis yaitu:
  1. “lembu mangan dukut” (suara kelontongan sapi ketika makan rumput) untuk upacara Dewa Yadnya
  2. “brama ngisep sari” (suara dengung kumbang yang terbang hendak mengisap sari bunga) untuk upacara Manusa, Pitra, Rsi Yadnya
  3. “bima kroda” (ribut seperti bima mengamuk) untuk upacara Butha Yadnya.
4. Teknik memegang dan menggoyang Gentha setiap orang berbeda; oleh karena itu kembangkanlah pribadi masing-masing, jangan meniru orang lain.
5. Memilih Gentha yang baik: pegang tangkai Gentha, sentil palitnya sekali saja, lalu dengarkan gaungnya; bila gaungnya panjang dan beralun, itulah Gentha yang baik. Gentha spesial disebut Gentha Utter, jika digosok kayu, gaungnya membesar dan beralun panjang.
6. Pembuat Gentha yang baik ada di Banjar Budaga, Klungkung. Harga Gentha Utter (yang terbaik tahun 2001) sekitar Rp800.000,-
7. Setelah membeli, gentha agar segera di-plaspas dan di-pasupati
8. Dalam pemujaan, sebelum mulai menggunakan gentha, disucikan lebih dahulu dengan proses “ngaskara gentha” (lihat diktat: Pepalihan untuk Pemangku)

http://stitidharma.org/gentha/#more-451

Cuntaka Untuk Profesi Tertentu


QUESTION:


Ida Pandita yang saya sucikan, membaca rublik Umat Bertanya pada halaman 64 edisi 115 bulan Februari 2007 tentang Cuntaka: Di mana seseorang terkena cuntaka bila ikut membantu memindahkan atau mengangkat korban/ mayat akibat kecelakaan lalu lintas jalan.
Pertanyaan saya adalah bagaimana menurut Ida Pandita Nabe (atau menurut Kitab Suci) jika hal tersebut di atas dilakukan oleh seorang umat karena tugas/ profesi misalnya sebagai dokter forensik, polisi, sopir ambulan dan lain-lain yang mana hampir setiap hari berhubungan dengan mayat.
Apakah juga terkena cuntaka? Kalau begitu apa setiap saat harus melaksanakan upacara?
Jika umat tersebut cuntaka apakah umat tersebut dosa bila melaksanakan Puja Tri Sandya walau hanya di rumah (bukan di Pura) sebagaimana kewajiban sebagai umat Hindu.
ANSWER:
Dalam “susila” Agama Hindu di Bali ada yang dinamakan “diyatmika”. Salah satu arti diyatmika adalah kebijaksanaan. Untuk kasus cuntaka bagi profesi tertentu, misalnya petugas yang bidang pekerjaannya berhubungan dengan orang cuntaka, misalnya polisi, dokter, petugas medis, bidan, sopir, dll.
Cuntaka ketika bertugas dapat dihilangkan dengan tirta panglukatan saja, tetapi alangkah baiknya bila setiap purnama memohon prayascita atau pejaya-jayaan dari seorang Wiku.
Demikian pula halnya bagi seorang kesatria atau contoh riilnya tentara yang memang tugasnya berperang, pertanyaan serupa akan timbul, tidakkah dia berdosa karena telah membunuh atau Himsa Karma ? Untuk itu tradisi beragama Hindu di Bali menganjurkan bagi mereka yang tugasnya demikian (berperang) sepulangnya melakukan upacara penebusan dan pesucian.
Sebelum melakukan Puja Trisandya, pasti melakukan pesucian diri terlebih dahulu, misalnya menggunakan banyuawang, atau tirta pelukatan dari Wiku.
http://stitidharma.org/cuntaka-untuk-profesi-tertentu/#more-919

Satyam, Siwam, Sundaram Menuju Moksartham Jagadhita – The Leaflet


Kepercayan dan keyakinan akan adanya Hyang Widhi dapat diperoleh melalui:


  1. Agama Pramana: berdasarkan ajaran yang terdapat dalam kitab suci.
  2. Pratiyaksa Pramana: merasakan atau mengalami langsung dengan jelas dan nyata.
  3. Anumana Pramana: menarik kesimpulan berdasarkan logika, dari unsur-unsur: gerakan, sebab-akibat, keharusan, kesempurnaan dan keteraturan.
  4. Upamana Pramana: analogi, yaitu kesimpulan berdasarkan perbandingan dari unsur-unsur: metafora (penciptaan), struktural (bahan penciptaan), dan kausal (akibat dari suatu sebab).
Setelah percaya dan yakin, manusia dapat menempuh empat jalan menuju kepada-Nya
  1. Bhakti Marga: menyembah, memuja, menghormati, dan menyayangi.
  2. Karma Marga: bekerja, berbuat mencapai tujuan hidup dilandasi ajaran Weda.
  3. Jnana Marga: mempelajari kitab suci sebagai sumber ilmu pengetahuan.
  4. Yoga Marga: olah badan dan pikiran untuk menghubungkan atma dengan parama atma.
Keempat jalan itu tidak dilaksanakan sendiri-sendiri, tetapi serentak bersamaan, namun keseimbangannya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Oleh karena itu kitab suci menyebutkan hal-hal yang bersifat harus dilaksanakan dan yang tidak boleh dilaksanakan:
1. Catur Purushaarta: dharma, arta, kama, dan moksa, yang urutannya tidak boleh ditukar karena tiada arta dapat diperoleh tanpa melalui dharma, tiada kama diperoleh tanpa arta, seterusnya tiada moksa diperoleh tanpa melalui dharma, arta, dan kama.
2. Sistacara: kehidupan suci yang membentuk susila.
3. Sadacara: taat pada peraturan atau perundangan yang sah.
4. Atmanastusti: memelihara hati nurani yang suci.
5. Menjauhkan diri dari Sad Tatayi: agnida (membakar atau memarahi orang), wisada (meracun), atharwa (memakai ilmu hitam), sastraghna (mengamuk), dratikrama (memperkosa), rajapisuna (memfitnah).
6. Waspada pada Sad Ripu yang ada pada diri kita: Kama (nafsu), Lobha (serakah), Kroda (marah), Mada (mabuk), Moha (sombong), Matsarya (cemburu, dengki, iri hati).
7. Laksanakan Trikaya Parisudha:
  1. Kayika (perbuatan yang baik, yaitu tidak: membunuh, mencuri, berzina)
  2. Wacika (perkataan yang baik, yaitu tidak: berkata keras, memaki, memfitnah dan setia pada perkataan sendiri)
  3. Manacika (pikiran yang baik, yaitu: tidak dengki pada kepunyaan orang lain, percaya pada hukum karma-phala, dan sayang kepada semua mahluk)
8. Senantiasa melakukan Asada Brata:
  1. Dharma (taat pada hakekat kebenaran)
  2. Satya (setia pada nusa-bangsa-negara)
  3. Tapa (mengendalikan diri)
  4. Dama (tenang dan sabar)
  5. Wimatsarira (tidak dengki, iri, serakah)
  6. Hrih (punya rasa malu)
  7. Titiksa (tidak gusar)
  8. Anasuya (tidak bertabiat jahat)
  9. Yadnya (berkorban)
  10. Dana (dermawan)
  11. Dhrti (mensucikan diri)
  12. Ksama (memaafkan)
9. Kemampuan mengendalikan Dasa Indria:
  1. Srotendria (pendengaran)
  2. Twakindria (alat peraba/ kulit)
  3. Granendria (penciuman)
  4. Caksundria (mata)
  5. Wakindria (lidah/ perkataan)
  6. Panindria (gerakan tangan)
  7. Payundria (membuang kotoran)
  8. Jihwendria (gerakan kaki)
  9. Pastendria (kelamin)
10. Mengendalikan diri melalui Yama Brata:
  1. Anrsamsa (tidak egois)
  2. Ksama (pemaaf)
  3. Satya (setia)
  4. Ahimsa (tidak membunuh/ menyakiti)
  5. Dama (sabar dan tenang)
  6. Arjawa (tulus ikhlas)
  7. Pritih (welas asih)
  8. Prasada (tidak berpikir buruk)
  9. Madhurya (bermuka manis secara tulus)
  10. Mardawa (lemah lembut)
11. Menegakkan disiplin melalui Niyama Brata:
  1. Dana (dermawan)
  2. Ijya (bersembahyang)
  3. Tapa (mengekang nafsu)
  4. Dhyana (menyadari kebesaran Hyang Widhi)
  5. Swadhyaya (rajin belajar)
  6. Upasthanigraha (menjaga kesucian hubungan sex)
  7. Brata (mengekang nafsu)
  8. Upawasa (puasa)
  9. Mona (mengendalikan pembicaraan
  10. Snana (menjaga kesucian lahir-bathin)
12. Dharmasastra Raja (swadharma seorang pemimpin pemerintahan) adalah: Catur Nayasandhi:
  1. Sama (meredam kemarahan musuh)
  2. Dana (memberikan hadiah kepada lawan)
  3. Beda (memecah belah kekuatan lawan)
  4. Danda (bertindak tegas pada saat yang tepat)
Serta melaksanakan Astha brata:
  1. Indra brata (adil)
  2. Yama brata (menghukum yang bersalah)
  3. Surya brata (melindungi dan menerangi)
  4. Candra brata (menciptakan kedamaian)
  5. Bayu brata (menguatkan pertahanan)
  6. Kwera brata (mensejahterakan)
  7. Baruna brata (kemampuan menyerang)
  8. Agni brata (mendorong semangat)
13. Mengatur kehidupan dalam Catur Ashrama, yaitu:
  1. Brahmacari (masa kehidupan belajar/ menuntut ilmu secara formal)
  2. Griyahasta (masa berumah tangga dan mengembangkan keturunan)
  3. Wanaprasta (mengurangi ikatan pada keduniawian)
  4. Bhiksuka (mensucikan diri/ menjadi orang suci)
Apabila keempat marga dilaksanakan dengan baik, maka manusia akan memiliki Sad Guna:
  1. Sandhi: mudah keluar dari kesulitan hidup
  2. Wigrha: berpengaruh
  3. Jana: perkataannya dituruti
  4. Sana: selalu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan
  5. Wisesa: bijaksana, berwibawa, mudah menaklukkan adharma
  6. Srya: mendapat simpati/ disenangi
Pribadi-pribadi yang dalam keadaan Sad Guna akan membiaskan fibrasinya pada kelompok manusia sehingga terwujudlah masyarakat yang bercirikan:
  1. SATYAM: taat beragama
  2. SIWAM: kasih sayang
  3. SUNDARAM: sejahtera materiil dan immateriil
Satyam, Siwam, Sundaram adalah unsur-unsur yang sangat menentukan upaya manusia mencapai Moksartham Jagadhita (kebahagiaan lahir/ bathin)
Atman yang dalam kehidupannya sebagai manusia telah mencapai moksartham jagadhita akan memudahkan transformasinya menuju persatuan dengan Brahman (Hyang Widhi). Oleh karena itu maka pencapaian moksartham jagadhita sering juga disebut sebagai pencapaian sorga.
Pencapaian sorga adalah tujuan akhir atman sehingga tidak menjelma lagi. Hakekat kehidupan manusia di Bumi adalah menggunakan sebaik-baiknya kesempatan hidup yang singkat ini.
http://stitidharma.org/satyam-siwam-sundaram-untuk-menuju-moksartham-jagadhita-the-leaflet/#more-590

Pembangunan Pura


QUESTION
:
Kita ketahui bersama Pura pada umumnya dibagi menjadi tiga sekat, yaitu sekat pertama (UtamaningMandala), sekat kedua (Utamaning Madya) dan sekat ketiga (…), menurut bhagawan yang dikatakan Pura itu dalam arti yang dijaga kesuciannya
  • Sekat pertama?
  • Sekat pertama dan kedua?
  • Atau Sekat keseluruhan?
Yang menjadi ganjalan, yaitu Pura di Sekat ketiga dihuni oleh Orang yang berumah-tangga otomatis setiap hari pasti melakukan cuntakan yang sangat mempengaruhi kesucian dan kesakralan jika Definisi Pura itu mencangkup keseluruhan (Sekat pertama, kedua dan ketiga).
Sebab sebagai pengalaman kami di Jawa Pura yang dihuni oleh orang yang sudah berumah tangga selalu ada masalah.
ANSWER:
Area Pura ada bermacam-macam:
1. Mempunyai tiga ruang: Utama Mandala, Madya Mandala, dan Nista Mandala.
Utama Mandala adalah tempat pelingih-pelinggih utama misalnya: Padmasana, Pangrurah, Taksu, Piasan, dll. Madya Mandala adalah tempat: Bale Gong, Bale Pesandekan. Nista Mandala adalah untuk Dapur umum, Bale Kulkul, pelinggih Lebuh.
2. Mempunyai dua ruang: Utama Mandala dan Nista Mandala. Dalam hal ini, Bale Gong dibangun di Utama Mandala.
3. Mempunyai satu ruang. Dalam hal ini Bale Gong dan Bale Kulkul ada di Utama Mandala (ruang satu-satunya)
Pemilihan alternatif 1, 2, 3 tergantung dari luas tanah yang tersedia.
Ruang-ruang itu dibatasi dengan tembok/ penyengker, di mana Gerbang antara Utama Mandala ke Madya Mandala berbentuk Gelungkori, dan gerbang antara Madya Mandala ke Nista Mandala berbentuk Candi Bentar.
Di luar Nista Mandala, barulah dibolehkan adanya rumah penduduk, tempat parkir, dagang, dll.

http://stitidharma.org/pembangunan-pura/#more-929